BAB
I
PEDAHULUAN
Pembangunan yang
seimbang dan terpadu antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup adalah
prinsip pembangunan yang senantiasa menjadi dasar pertimbangan utama bagi
seluruh sektor dan daerah guna menjamin keberlanjutan proses pembangunan itu
sendiri. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004–2009,
perbaikan pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup
diarahkan untuk memperbaiki sistem pengelolaan sumber daya alam agar sumber
daya alam mampu memberikan manfaat ekonomi, termasuk jasa lingkungannya, dalam
jangka panjang dengan tetap menjamin kelestariannya. Dengan demikian, sumber
daya alam diharapkan dapat tetap mendukung perekonomian nasional dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa mengorbankan daya dukung dan fungsi
lingkungan hidupnya, agar tetap dapat dinikmati oleh generasi mendatang. Dalam
kaitan ini, pembangunan berkelanjutan terus diupayakan menjadi arus utama dari
pembangunan nasional di semua bidang dan daerah.
Salah satunya wilayah
pesisir merupakan wilayah yang penting dan strategis dan merupakan kesatuan
ruang antara daratan dan lautan yang secara ekologis mempunyai hubungan
keterkaitan antara ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi. Selain
itu juga pembangunan pulau-pulau kecil telah menjadi perhatian khusus untuk
ditangani dalam beberapa tahun, mengingat kondisinya yang tertinggal dan
sebagian dari pulau-pulau tersebut sebagai titik pangkal perbatasan Indonesia
dengan negara-negara tetangga.
Pengelolaan pesisir
dan pulau-pulau kecil sangat diperlukan dan dilakukan secara terintegrasi
dengan melibatkan Pemerintah, masyarakat dengan pihak lain dalam perencanaan,
pemantauan , evaluasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil disekitar. Selain
itu untuk melindungi, mengkonservasi, memanfaatkan dan merehabilitasi wilayah
pesisir serta ekologis secara berkelanjutan. Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan
laut akan dapat berhasil jika dikelola secara terpadu (Integrated
Coastal Zone Management, ICZM). Unsur utama IZCM adalah integrasi (intergration) dan koordinasi. Pengelolaan atau pemanfaatan
kawasan pesisir yang dilakukan secara sektoral tidaklah efektif (Dahuri et al., 2008). Selain itu pemanfaatan sumberdaya pesisir dan
laut seharusnya dilakukan dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Dalam rangka mencapai tujuan-tujuan
pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut secara terpadu dan
berkelanjutan, maka perlu dirumuskan suatu pengelolaan (strategic
plan) yang mengintegrasikan setiap kepentingan dalam keseimbangan (proporsionality) antar dimensi ekologis, dimensi sosial,
antar sektoral, disiplin ilmu dan segenap pelaku pembangunan (stakeholders).
Saat ini, kondisi
ekosistem pesisir di sebagian wilayah telah mengalami kerusakan dan pencemaran
yang tinggi, yang digambarkan dengan kerusakan rata-rata terumbu karang sebesar
40 persen, penurunan luasan mangrove, dan pencemaran yang tinggi di beberapa
wilayah pesisir/laut. Sebagai salah satu upaya pengurangan perusakan, dilakukan
program perlindungan dan rehabilitasi sumber daya kelautan dan perikanan dengan
cara melakukan rehabilitasi terumbu karang di 7 (tujuh) propinsi, penanaman
mangrove, dan pengelolaan konservasi kawasan dan konservasi jenis. Dari tahun
2002 sampai dengan tahun 2005, luasan kawasan konservasi laut daerah (KKLD)
yang telah ditetapkan melalui SK Bupati dan calon KKLD adalah sekitar dua juta
hektar dan diperkirakan akan bertambah sebesar 700 ribu hektar pada tahun 2006.
Selain itu, persiapan juga dilakukan dalam rangka pengusulan marine world
haritage site, yaitu Taman Nasional Bunaken, Takabonarate, Kepulauan Banda,
Raja Ampat, Kepulauan Derawan, dan Wakatobi. Pada tahun 2005 dan 2006 telah
dilaksanakan kegiatan kerjasama regional dengan Malaysia dan Filipina dalam
pengelolaan kawasan konservasi laut Sulu Sulawesi (Sulu
Sulawesi Marine Eco-Region), dan telah menghasilkan rencana aksi
konservasi di tingkat nasional dan regional. Untuk kerjasama pengelolaan laut
antar daerah antara lain telah dilaksanakan di Selat Karimata dan Teluk Tomini.
Sebagai upaya mitigasi bencana lingkungan laut, telah disusun pedoman strategi
nasional mitigasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
BAB II
KONSEP DASAR PENGELOLAAN
PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR TERPADU (PWTP)
Menurut
Sain dan Krecth dalam Aristian, 2010. Pengelolaan Pesisir Terpadu
(P2T) adalah proses yang dinamis yang berjalan secara terus menerus, dalam
membuat keputusan-keputusan tentang pemanfaatan, pembangunan dan perlindungan
wilayah dan sumberdaya pesisir dan lautan. Bagian penting dalam pengelolaan
terpadu adalah perancangan proses kelembagaan untuk mencapai harmonisasi dalam
cara yang dapat diterima secara politis.
Pengelolaan
Wilayah Pesisir Terpadu dahulu dikenal istilah Integrated Coastal Zone Management
(ICZM) pertama kali dikemukakan pada Konferensi Pesisir Dunia (World
Conference of Coast) yang digelar pada tahun 1993 di Belanda. Pada
forum tersebut, PWPT diartikan sebagai proses paling tepat menyangkut
masalah pengelolaan pesisir, baik untuk kepentingan saat ini maupun
jangka panjang, termasuk di dalamnya akibat kerugian habitat,degradasi kualitas
air akibat pencemaran, perubahan siklus hidrologi, berkurangnya sumber daya
pesisir, kenaikan muka air laut, serta dampak akibat perubahan iklim dunia
(Subandono, et al, 2009). Lebih jauh, Subandono, et al, (2009)
juga menyatakan bahwa konsep PWPT menyediakan suatu kerangka perencanaan dan
pengelolaan yang tepat dalam menaklukkan berbagai kendala dan permasalahan
dalam pengelolaan wilayah pesisir, seperti adanya pengaturan institusi yang
terpecah-pecah, birokrasi yang berorientasi pada satu sektor, konflik
kepentingan, kurangnya prioritas, kepastian hukum, minimnya pengetahuan
kedudukan wilayah dan faktor sosial lainnya, serta kurangnya informasi dan sumberdaya.
Dahuri, et al, (2001) mendefenisikan PWTP sebagai suatu pendekatan
pengelolaan pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumber daya, dan
kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated) guna
mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Untuk mewujudkan hal
itu maka keterpaduan dalam perencanaan dan pengelolaan kawasan pesisir dan laut
mencakup empat aspek, yaitu : (a) keterpaduan wilayah/ekologis; (b) keterpaduan
sektoral; (c) keterpaduan kebijakan secara vertikal; (d) keterpaduan disiplin
ilmu; dan (e) keterpaduan stakeholder. Dengan kata lain, penetapan
komposisi dan laju/tingkat kegiatan pembangunan pesisir yang optimal akan
menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang dapat dirasakan oleh segenap stakeholders
secara adil dan berkelanjutan. Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu
pada dasarnya merupakan suatu proses yang bersifat siklikal. Dengan demikian
terlihat bahwa pendekatan keterpaduan pengelolaan/pemanfaatan kawasan pesisir
menjadi sangat penting, sehingga diharapkan dapat terwujud one plan dan one
m nagement serta tercapai pembangunan yang berkelanjutan dan kesejahteraan
masyarakat secara keseluruhan.
Berdasarkan
pembahasan di atas, maka beberapa kebijakan dan strategi harus berdasarkan
kepada : (1) pemahaman yang baik tentang proses-proses alamiah (eko-hidrologis)
yang berlangsung di kawasan pesisir yang sedang dikelola, (2) kondisi ekonomi,
sosial, budaya dan politik masyarakat, dan (3) kebutuhan saat ini dan yang akan
datang terhadap barang dan (produk) dan jasa lingkungan pesisir (Rahmawaty,
2004). Berikut ini diuraikan upaya pengelolaan pesisir dan laut Kepulauan
Maluku secara terpadu dan berkelanjutan.
Gambar 1. Konsep Pengelolaan Pesisir dan
Laut ( Rahmawaty, 2004)
BAB III
ISU DAN PERMASALAHAN PEMBANGUNAN WILAYAH PESISIR DAN LAUTAN
Dengan semakin mencuatnya paradigma pembangunan kelautan serta
dilaksanakannya otonomi daerah, maka semakin terbaca beberapa persoalan serius
yang menjadi isu-isu strategis dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut
ini, yaitu:
1. Kondisi sumberdaya pesisir dan laut yang bersifat common property
(milik bersama) dengan akses yang bersifat quasi open access. Istilah common
property ini lebih mengarah pada kepemilikan yang berada di bawah kontrol
pemerintah atau lebih mengarah pada sifat sumberdaya yang merupakan public
domain, sehingga sifat sumberdaya tersebut bukanlah tidak ada pemiliknya. Ini
berarti sumberdaya tersebut tidak terdefinisikan dalam hal kepemilikannya
sehingga menimbulkan gejala yang disebut dengan dissipated resource rent, yaitu
hilangnya rente sumberdaya yang semestinya diperoleh dari pengelolaan yang
optimal. Dengan adanya sifat sumberdaya yang quasi open access tersebut, maka
tindakan salah satu pihak yang merugikan pihak lain tidak dapat terkoreksi oleh
pasar (market failure). Hal ini menimbulkan ketidak efisienan ekonomi karena
semua pihak akan berusaha mengeksploitasi sumberdaya sebesar-besarnya, jika
tidak maka pihak lain yang akan mendapat keuntungan. Kondisi seperti inilah
yang terjadi saat ini. Dengan didukung oleh teknologi, pihak-pihak yang lebih
kuat dan mampu mengeksploitasi sumberdaya secara berlebihan sehingga terjadi
hukum rimba (siapa yang kuat, dia yang menang) dan daya produksi alamiah
menjadi terganggu.
2. Adanya degradasi lingkungan pesisir dan laut. Pada awal tahun
80-an, banyak pihak yang tersentak setelah menyaksikan kebijakan pembangunan
yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi dan produktivitas ternyata telah
menimbulkan kerusakan yang serius terhadap lingkungan. Program modernisasi
perikan contohya, yang bertujuan menigkatkan produksi hasil tangkapan nelayan
menggunakan teknologi penangkapan yang semakin modern tidak disertai dengan
sosialisasi pemahaman yang baik terhadap lingkungan kelautan. Hal ini berakibat
fatal terhadap kelestarian lingkungan karena terjadi ekploitasi sumberdaya
secara maksimal tanpa memperhatikan potensi lestari yang ada. Degradasi
lingkungan pesisir dan laut yangmanjdi ancaman bagi kelangsungan hidup
masyarakat pesisir dan nelayan akibat faktor-faktor lain masih berlanjut hingga
saat ini seperti misalnya pencemaran lingkungan perairan akibat limbah industri
dan rumah tangga. Selain merusak potensi sumberdaya perairan, degradasi
lingkungan ini juga berakibat buruk bagi kesehatan dan kelangsungan hidup
manusia, terutama masyarakat pesisir.
3. Kemiskinan dan kesejahteraan
nelayan. Perikanan di Indonesia melibatkan banyak stakeholders. Yang paling vital adalah nelayan
kecil yang merupakan lapisan yang paling banyak jumlahnya. Mereka hidup dalam
kemiskinan dan tekanan-tekanan sosial ekonomi yang berakar pada faktor-faktor
kompleks yang saling terkait. Faktor-faktor tersebut dapat diklasifikasikan
sebagai faktor alamiah dan non alamiah. Faktor alamiah berkaitan dengan
fluktuasi musim dan struktur alamiah sumberdaya ekonomi desa. Sedangkan faktor
non alamiah berhubungan dengan keterbatasn daya jangkau teknologi, ketimpangan
dalam sistem bagi hasil, tidak adanya jaminan sosial tenaga (Rudyanto, 2004).
Suatu kenyataan yang sebenarnya telah kita pahami bersama, jika
sumberdaya pesisir dan lautan memiliki arti penting bagi pembangunan nasional,
baik dilihat dari aspek ekonomi, aspek ekologis, aspek pertahanan dan keamanan,
serta aspek pendidikan dan pelatihan. Salah satu contoh dari aspek ekonomi, total
potensi lestari dari sumber daya perikanan laut Indonesia diperkirakan mencapai
6,7 juta ton per tahun, masing-masing 4,4 juta ton di perairan
teritorial dan perairan nusantara serta 2,3 ton di perairan ZEE (Departemen
Kelautan dan Perikanan, 2002). Sedangkan di kawasan pesisir, selain kaya
akan bahan-bahan tambang dan mineral juga berpotensi bagi pengembangan
aktivitas industri, pariwisata, pertanian, permukiman, dan lain sebagainya.
Seluruh nilai ekonomi potensi sumberdaya pesisir dan laut mencapai 82 milyar
dollar AS per tahun.
Kenyataannya, kinerja pembangunan bidang kelautan dan perikanan
belumlah optimal, baik ditinjau dari perspektif pendayagunaan potensi yang ada
maupun perpektif pembangunan yang berkelanjutan. Ekosistem pesisir dan lautan yang
meliputi sekitar 2/3 dari total wilayah teritorial Indonesia dengan kandungan
kekayaan alam yang sangat besar, kegiatan ekonominya baru mampu menyumbangkan +
20,06% dari total Produk Domestik Bruto ( Rohmin 2001 dalam darajati,
2004). Padahal negara-negara lain yang memiliki wilayah dan potensi
kelautan yang jauh lebih kecil dari Indonesia (seperti Norwegia, Thailand,
Philipina, dan Jepang), kegiatan ekonomi kelautannya (perikanan, pertambangan
dan energi, pariwisata, perhubungan dan komunikasi, serta industri) telah
memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap PDB mereka, yaitu berkisar
25-60% per tahun ( Dahuri et al, 2008). Ini menunjukan bahwa kontribusi
kegiatan ekonomi berbasis kelautan masih kecil dibanding dengan potensi dan
peranan sumberdaya pesisir dan lautan yang sedemikian besarnya, pencapaian
hasil pembangunan berbasis kelautan masih jauh dari optimal.
Jika diamati secara seksama, persoalan pemanfaatan sumber daya
pesisir dan lautan selama ini tidak optimal dan berkelanjutan disebabkan oleh
faktor-faktor kompleks yang saling terkait satu sama lain. Faktor-faktor
tersebut dapat dikategorikan kedalam faktor internal dan eksternal. Faktor
internal adalah faktor-faktor yang berkaitan dengan kondisi internal sumberdaya
masyarakat pesisir dan nelayan, seperti :
(1) Rendahnya tingkat pemanfaatan sumberdaya, teknologi dan
manajemen usaha,
(2) Pola usaha tradisional dan subsisten (hanya cukup memenuhi
kehidupan jangka pendek),
(3) Keterbatasan kemampuan modal usaha,
(4) Kemiskinan dan Keterbelakangan masyarakat pesisir dan nelayan.
Sedangkan Faktor eksternal, yaitu :
(1) Kebijakan pembangunan pesisir dan lautan yang lebih
berorientasi pada produktivitas untuk menunjang pertumbuhan ekonomi, bersifat
sektoral,parsial dan kurang memihak nelayan tradisional,
(2) Belum kondisinya kebijakan ekonomi makro (political economy),
suku bunga yang masih tinggi serta belum adanya program kredit lunak yang
diperuntukan bagi sektor kelautan.
(3) Kerusakan ekosistem pesisir dan laut karena pencemaran dari wilayah
darat, praktek penangkapan ikan dengan bahan kimia, eksploitasi dan perusakan
terumbu karang, serta penggunaan peralatatan tangkap yang tidak ramah
lingkungan,
(4) Sistem hukum dan kelembagaan yang belum memadai disertai
implementasinya yang lemah, dan birokrasi yang beretoskerja rendah serta sarat
KKN,
(5) Perilaku pengusaha yang hanya memburu keuntungan dengan
mempertahankan sistem pemasaran yang mengutungkan pedagang perantara dan
pengusaha,
(6) Rendahnya kesadaran akan arti penting dan nilai strategis
pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan secara terpadu bagi kemajuan
dan kemakmuran bangsa.
Akibatnya potret pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan
selama kurun waktu 32 tahun yang lalu, dicirikan oleh dominan kegiatan yang
kurang mengindahkan aspek kelestarian lingkungan, dan terjadi ketimpangan
pemerataan pendapatan. Pada masa itu, Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir
dan lautan, sangat diwarnai oleh rezim yang bersifat open acces,
sentralistik, seragamisasi, kurang memperhatikan keragaman biofisik alam dan
sosio-kultural masyarakat lokal. Lebih jauh antara kelompok pelaku komersial
(sektor modern) dengan kelompok usaha kecil dan subsisten (sektor tradisional)
kurang sejalan/ sinergi bahkan saling mematikan.(Darajati, 2004)
BAB IV
URGENSI DAN MANFAAT PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN
LAUTAN SECARA TERPADU (PWPLT)
Seperti yang dijelaskan diatas, banyak faktor persoalan yang
menyebabkan tidak optimal dan berkelanjutan pengelolaan wilayah pesisir dan
lautan. Namun, kesepakatan umum mengungkapkan bahwa salah satu penyebab utama
adalah perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sumberdaya pesisir dan lautan
yang selama ini dijalankan bersifat sektoral dan terpilah-pilah. Padahal
karakteristik dan alamiah ekosistem pesisir dan lautan yang secara ekologis
saling terkait satu sama lain termasuk dengan ekosistem lahan atas, serta
beraneka sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan sebagai potensi pembangunan
yang pada umumnya terdapat dalam suatu hamparan ekosistem pesisir, mensyaratkan
bahwa pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan secara optimal dan
berkelanjutan hanya dapat diwujudkan melalui pendekatan terpadu dan holostik.
Apabilaperencanaan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan tidak
dilakukan secara terpadu, maka dikhawatirkan sumberdaya tersebut akan rusak
bahkan punah, sehingga tidak dapat dimanfaatkan untuk menopang kesinambungan
pembangunan nasional dalam mewujudkan bangsa yang maju, adil dan makmur
(Darajati, 2004)
Ditinjau
dari sudut pandang pembangunan berkelanjutan dan status bangsa Indonesia
sebagai negara berkembang, Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan
secara Terpadu sesungguhnya berada dipersimpangan jalan (at the cross road).
Disatu sisi kita mengahadapi wilayah pesisir yang padat penduduk dengan derap
pembangunan yang intensif dengan pola yang tidak berkelanjutan (unsustainable
development pattern), seperti yang terjadi di Selat Malaka, Pantai Utara
Jawa, Bali, pesisir antara Balikpapan dan Bontang di Kalimantan Timur dan Sulawesi
Selatan. Sehingga, indikasinya telah terlampaui daya dukung (potensi lestari)
dari ekosistem pesisir dan lautan, seperti pencemaran, tangkap lebih (overfishing),
degradasi fisik habitat pesisir dan abrasi pantai. Di sisi lain, masih banyak
kawasan pesisir dan lautan Indonesia yang tingkat pemanfaatan sumberdaya
alamnya belum optimal, kondisi ini umumnya dijumpai di Kawasan Timur Indonesia
(KTI) dan daerah luar jawa lainnya yang belum tersentuh aktivitas pembangunan
(Darajati, 2004)
Bertitik tolak pada kondisi tersebut, sudah waktunya ada kebijakan
dan strategi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan yang
dapat menyeimbangkan pemanfaatan antar wilayah dan tidak mengulangi kesalahan
(kerusakan lingkungan dan in-efesiensi), seperti yang terjadi di Kawasan Barat
Indonesia (KBI). Bedasarkan karakteristik dan dinamika dari kawasan pesisir,
potensi dan permasalahannya, maka kebijakan pemerintah untuk membangun kawasan
pesisir dan laut secara optimal dan berkelanjutan hanya dilakukan melalui
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu (PWPLT).
BAB V
STRATEGI PENGELOLAAN
WILAYAH PESISIR DAN LAUTAN SECARA TERPADU
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu (PWPLT)
memerlukan informasi tentang potensi pembangunan yang dapat dikembangkan di
suatu wilayah pesisir dan lautan beserta permasalahan yang ada, baik aktual
aupun potensial. PWPLTpada dasarnya ditujukan untuk mendapatkan pemanfaatan
sumber daya dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat diwilayah ini secara
berkelanjutan dan optimal bagi kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, rumusan
PWPLT disusun berdasarkan pada potensi, peluang, permasalahan, kendala dan kondisi
aktual yang ada, dengan memperimbangkan pengaruh lingkungan strategis terhadap
pembangunan nasional, otonomi daerah dan globalisasi. Untuk mengimplementasikan
PWPLT pada tataran praktis (kebijakan dan program) maka ada lima strategi,
yaitu :
(1) Penerapan Konsep Pembangunan
Berkelanjutan dalam PWPLT
(2) Mengacu pada Prinsip-prinsip dasar
dalam PWPLT
(3) Proses Perencanaan PWPLT
(4) Elemen dan Struktur PWPLT
(5) Penerapan PWPLT dalam Perencanaan
Pembangunan Daerah
Dalam strategi pertama, suatu kawasan
pembangunan yang berkelanjutan memiliki empat dimensi, yaitu : ekologis,
sosial-ekonomi-budaya, sosial-politik, dan hukum serta kelembagaan. Dimensi
ekologis menggambarkan daya dukung suatu wilayah pesisir dan lautan (supply
capacity) dalam menopang setiap pembanguan dan kehidupan manusia, sedangkan
untuk dimensi ekonomis-sosial dari pembangunan berkelanjutan mempresentasikan
permintaan terhadap SDA dan jasa-jasa lingkungan dimana manfaat dari
pembangunan wilayah pesisir seharusnya untuk meningkatkan kesejahteraan
penduduk lokal sekitar program terutama yang termasuk ekonomi lemah. Untuk
Dimensi Sosial-politik, pembangunan berkelanjutan hanya dapat dilaksanakan
dalam sistem dan suasana politik demokratis dan transparan, tanpa kondisi
politik semacam ini, niscaya laju kerusakan lingkungan akan melangkah lebih
cepat ketimbang upaya pencegahan dan penanggulangannya. Penegakan dimensi Hukum
dan kelembagaan, Sistem peraturan dan perundang-undangan yang berwibawa dan
kuat akan mengendalikan setiap orang untuk tidak merusak lingkungan pesisir dan
lautan.
Strategi kedua, Pengelolaan dan
pemanfaatan wilayah pesisir harus mengacu pada prinsip-prinsip dasar PWPLT, ada
15 prinsip dasar yang sebagian besar mengacu Clark (1992) dalam Dahuri et al
(2008) yaitu :
1)
Wilayah pesisir adalah suatu
sistem sumberdaya (resource system) yang unik, yang memerlukan
pendekatan khusus dalam merencanakan dan mengelola pembangunannya.
2)
Air merupakan faktor
kekuatan pemersatu utama dalam ekosistem pesisir.
3)
Tata ruang daratan dan lautan
harus direncanakan dan dikelola secara terpadu.
4)
Daerah perbatasan laut dan
darat hendaknnya dijadikan faktor utama dalam setiap program pengelolaan
wilayah pesisir.
5)
Batas suatu wilayah pesisir
harus ditetapkan berdasarkan pada isu dan permasalahan yang hendak dikelola
serta bersifat adaptif.
6)
Fokus utama dari pegelolaan
wilayah pesisir adalah untuk mengkonservasi sumberdaya milik bersama.
7)
Pencegahan kerusakan akibat
bencana alam dan konservasi sumberdaya alam harus dikombinasikan dalam suatu
program PWPLT.
8)
Semua tingkatan di pemerintahan dalam suatu
negara harus diikut sertakan dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir.
9)
Pendekatan pengelolaan yang disesuaikan dengan
sifat dan dinamika alam adalah tepat dalam pembangunan wilayah pesisir.
10) Evaluasi pemanfaatan
ekonomi dan sosial dari ekosistem pesisir serta partisipasi masyarakat lokal
dalam program pengelolaan wilayah pesisir.
11) Konservasi untuk
pemanfaatan yang berkelanjutan adalah tujuan dari pengelolaan sumberdaya
wilayah pesisir.
12) Pengelolaan multiguna (multiple
uses) sangat tepat digunakan untuk semua sistem sumberdaya wilayah pesisir.
13) Pemanfaatan multiguna (multiple
uses) merupakan kunci keberhasilan dalam pembangunan wilayah pesisir secara
berkelanjutan
14) Pengelolaan sumberdaya pesisir secara tradisional harus dihargai.
15) Analisis dampak lingkungan sangat penting bagi pengelolaan wilayah
pesisir secara terpadu.
Strategi ketiga, Proses
perencanaan PWPLT pada dasarnya ada tiga langkah utama, yaitu : (1)
Perencanaan, (2) implementasi dan (3) Pemantauan dan Evaluasi. Secara jelas
ketiga langkah utama tersebut diilustrasikan dalam diagram alur proses
perencanaan pembangunan berkelanjutan wilayah pesisir dan lautan, dibawah ini.
Sumber: Dahuri et al, 2008)
Strategi keempat, Agar mekanisme
atau proses PWPLT dapat direalisasikan dengan baik perlu dilengkapi dengan
komponen-komponen yang diramu dalam suatu piranti pengelolaan (management
arrangement) sebagai raganya. Pada intinya, piranti pengelolaan terdiri
dari piranti kelembagaan dan alat pengelolaan. Piranti kelembagaan menyediakan
semacam kerangka (frame work) bagi pelaksanaan tugas-tugas pengelolaan
dan penerapan segenap alat pengelolaan.
Meskipun
rancangan dan praktek PWPLT bervariasi dari satu negara ke negara yang lain,
namun dapat disimpulkan bahwa keberhasilan PWPLT memerlukan empat persyaratan
utama, yaitu : (1) kepemimpinan pionir (initial leadership), (2) piranti
kelembagaan, (3) kemapuan teknis (technical capacity), dan (4) alat
pengelolaan. Penerapan keempat persyaratan ini bervariasi dari satu negara
dengan negara lain, bergantung pada kondisi geografi, demografi, sosekbud dan
politik.
Strategi kelima, Untuk
mengatasi konflik perencanaan pengelolaan pesisir, maka perlu diubah dari
perencanaan sektoral ke perencanaan terpadu yang melibatkan pemerintah daerah,
swasta dan masyarakat terkait di pesisir. Semua instansi sektoral, Pemda dan stakeholder
terkait harus menjustifikasi rencana kegiatan dan manfaat yang akan
diperoleh, serta mengkoordinasi kegiatan tersebut dengan kegiatan sektoral lain
yang sudah mapan secara sinergis. Dengan semangat pelaksanaan otonomi daerah
yang diantaranya ditandai dengan lahir dan diberlakukannya UU No. 22/1999
tentang Pemerintah Daerah, yang di dalamnya mencakup pengaturan kewenangan
daerah dalam mengelola sumber daya kelautan (pesisir dan lautan), diharapkan
dapat membawa angin segar sekaligus menjadi mometum untuk melaksanakan
pembangunan, pendayagunaan, dan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan
secara yang lebih baik, optimal, terpadu serta berkelanjutan.
BAB
VI
PENGELOLAAN
SUMBERDAYA HAYATI PESISIR LAUT DAN
PULAU-PULAU KECIL DI MALUKU
6.1 Potensi dan Pengembangan Wilayah
Pesisir di Maluku
Maluku merupakan provinsi kepulauan
dengan jumlah pulau 1.340 buah, panjang garis pantai 10.630,1 Km dan luas
perairan (666,139,85 Km2 ) 93,5% dari total luas wilayahnya. Keanekaragaman
ekosistem : Ekosistem T. Karang, P. Lamun dan Mangrove, Ekosistem Pantai, Lagoon, Estuari,
Ekosistem Laut Terbuka dan Ekoistem Laut Dalam (Jeluk). Memiliki keragaman spesies dan potensi SDI meliputi SDI pelagis kecil,
pelagis besar, ikan demersal, ikan karang dan ikan hias. Fauna dan flora bentos
seperti moluska, krustasea, ekhinodermata, spons, makro-alga. Gambaran potensi wisata diberikan sesuai distribusi kawasan wisata
bahari, yang sementara dikembangkan atau yang direncanakan secara keruangan. Secara spasial distribusi kawasan
wisata bahari bervariasi sesuai potensi wilayahnya. Pengembangan wisata bahari tidak lepas dari pengembangan wisata pantai pd
kawasan PL dan PPK dgn potensi pantai pasir putih (Sahetapy, 2013).
Sumber : Sahetapy, 2013
Sumber
: Sahetapy, 2013
6.2. ISU DAN
PERMASALAHAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA
HAYATI- PESISIR LAUT DAN PULAU-PULAU KECIL
A. Isu dan Permasalahan
Penggunaan Lahan
1. Lahan pesisir yang cukup luas dan memiliki daya dukung untuk pengembangan
perikanan ikan dan ekowisata bahari.
2. Tingkat pemanfataan wilayah perairan untuk pengembangan perikanan tangkap masih rendah.
3.
Konflik
Pemanfaatan Ruang
B. Isu dan Permasalahan
Geomorfologi dan Geologi
1.
Relief
rendah, proses degradasi lahan daratan pulau cepat oleh aksi gelombang, arus
dan angin yang kontinu.
2.
Pantai
berpasir putih, danau air asin, keunikan pola arus pasang surut dan distribusi
terumbu karang
3.
Titik
episentrum gempa tektonik dangkal sampai dalam dan potensi
C. Isu dan Permasalahan Oseanografi
1.
Kondisi
oseanografi pd wil. Kabupaten. Kepulauan. Mendukung usaha perikanan ikan
pelagis kecil dan pelagis besar, pengembangan budidaya laut, ekowisata bahari,
dan konservasi kenekaragaman (SDHL).
2.
Letak
perairan pesisir dan PPK yang berhadapan
langsung dengan perairan dlm, cenderung mendapat tekanan dari faktor
lingkungan, baik dari cuaca maupun dari faktor air laut.
3.
Luasan
wilayah kelola 0 – 4 mil dan 4 – 12 mil sangat menjanjikan bagi upaya pengembangan
perikanan berskala kecil maupun skala besar, dan didukung pemupukan akibat upwelling.
4.
Beberapa
lokasi selat dengan potensi pengembangan energi konvensional yang memanfaatkan
potensi arus pasang surut sebagai energi kinetik.
D. Isu dan Permasalahan Pemanfaatan Ekosistem Utama
Pemanfaatan kayu bakau utk kayu
bakar dan bahan bangun terus dilakukan hampir di semua wilayah. Ini seiring dgn
penurunan produksi SDHL, disamping dampak fisik seperti abrasi dan degradasi
garis pantai.Tekanan terhadap padang lamun karena reklamasi siltasi yang tinggi
akibat pembukaan pemukiman di lahan atas. Penangkapan ikan di kawasan terumbu
karang dengan teknik/teknologi merusak dan penambangan batu karang.
E. Isu dan Permasalahan Penangkapan Ikan dan Budidaya
Perairan
Teknologi sgt tradisional, kapasitas produksi rendah. Hasil produksi perikanan tangkap dibuang, lemahnya penanganan produksi. Budaya pemanfaatan SD dgn cara berburu menyebab kan masyarakat lokal
belum maksimal utk menjalan kan kegiatan-kegiatan budidaya perairan. Keberhasilan budidaya perairan umumnya pd masyarakat pendatang atau pd
skala usaha yg padat modal.
F. Isu dan Permasalahan
Konservasi
Banyak kearifan lokal dlm konservasi SDH pesisir dan laut telah terkikis, akibat
sistemkelembagaan yang tidak lagi berbasis adat & orientasi ekonomi secara
berlebihan.Pemanfaatan sumberdaya yg dilindungi utk tujuan ekonomi memberikan
konsekuensi pada pelanggaran-pelanggaran pd kawasan konservasi yang sudah
ditetapkan.
Minimnya rumusan regulasi yg mendukung penge lolaan SDA secara
berkelanjutan, terutama dlm mempertahankan kawasan-kawasan konservasi yg telah
ditetapkan dalam rencana umum tata ruang wilayah maupun tata ruang wilayah
pesisir dan laut.
G. Isu Dan Permasalahan
Pengembangan Ekowisata Bahari :
Kesiapan masyarakat secara sosial yang masih relatif kurang terbuka dalam
proses pengembangan ekowisata. Lemahnya kapasitas wilayah
pesisir dan kawasan PPK untuk mengakomodasi perkembangan ekowisata bahari
karena keterbatasan infrastruktur pendukung. Kurangnya tindakan promosi untuk memperkenalkan kawasan-kawasan potensial
ekowisata bahari yang terdistribusi di setiap wilayah, disamping untuk menarik
investasi di bidang ekowisata bahari.
H. Isu dan Permasalahan Ekonomi
Pulau-Pulau Kecil
Kapasitas ekonomi yang lemah menyebabkan upaya investasi di tingkat
masyarakat tidak jalan. Akses antar wilayah yang lemah menyebab kan tidak
bergeraknya ekonomi pasar dan rendahnya kapasitas penarikan investasi ke dalam
wilayah. Minimnya ketersediaan infrastruktur ekonomi yang mendukung distribusi
hasil produksi, penanganan kualitas produksi dan dukungan modal usaha bagi
masyarakat.
I. Isu dan Permasalahan
Kelembagaan Lokal dan Daerah:
Sistem dan
manajemen kelembagaan lokal yang lemah dan tdk fleksibel terhadap tuntutan
perubahan di satu sisi dan upaya memepertahankan kearfian lokal di lain sisi. Pengelolaan pulau kecil tidak hanya menjadi tanggung jawab DKP sehingga
kebutuhan terhadap integrasi kelembagaan menjadi penting untuk pengembangan
kawasan PPK. Namun ini belum terakomodasi dengan baik, mulai dari proses
perencanaan, impelementasi pembangunan sampai dengan pengawasan dan evaluasi
(Sahetapy, 2013).
6.3. STRATEGI PENGEMBANGAN
(PEMANFAATAN DAN PENGELOLAAN SDH PESISIR, LAUT
DAN PPK (Contoh Kab. MTB)
1. Perencanaan wilayah pengembangan SDHL melalui suatu Pendekatan Wilayah Ekologis
2. Penentuan Kluster Wilayah Prioritas Pengem bangan SDHL
3. Pendekatan Optimalisasi Produksi, Orientasi Pasar dan Dinamisasi Investasi sebagai sistem yg dinamis
4. Peruntukan wilayah konservasi dan Desentralisasi dan Penguatan
Hak Rakyat/Masyarakat
5. Pengembangan infrastruktur Kelautan dan Perikanan
6. Peningkatan Kualitas Kelembagaan, Potensi Kelembagaan Lokal dan Integrasi Kelembagaan
7. Peningkatan Kualitas SDM dan pendampingan
8. Legalisasi
Sistem dan Regulasi di Tingkat Daerah.
6.4. PENDEKATAN WILAYAH EKOLOGIS
(SUATU CONTOH PADA KABUPATEN MTB
Sumber : Sahetapy, 2013
Sumber : Sahetapy, 2013
Sumber : Sahetapy, 2013
6.5. PERUNTUKAN WILAYAH KONSERVASI. & DESENTRALISASI SERTA
PENGUATAN HAK RAKYAT / MASYARAKAT
Penetapan wilayah konservasi sebagai bagian penting terkait dengan upaya
perlindungan KH /SDH dan
lingkungan dari potensi wilayah yang akan dikembangkan. Konservasi diarahkan
secara optimal untuk mendukung juga Ekowisata Bahari dan Wisata Ilmiah. Desentralisasi konservasi dan penguatan
hak masyarakat terhadap laut dan SDH menjadi hal penting terkait dengan pengembangan KHL. Kebijakan konservasi yg sentralistik menimbulkan banyak persoalan di tingkat daerah pd
tahap implementasinya. Pada dasarnya ada beberapa
faktor yang menyebabkan persoalan sentralisasi konservasi pesisir dan laut.
1.
Kebijakan konservasi top
down dan sentralistik memunculkan
model konservasi yang dipaksakan, tanpa ada
kesempatan bagi masyarakat
untuk memilih setuju/tidak,
serta terlihat / tidak terlihat.
2. Dominasi peran Departemen Kehutanan dalam pengelo laan kawasan konservasi laut,
pola konservasi
teresterial sangat
berbeda dengan konservasi laut yang membutuhkan pendekatan yang berbeda.
3. Negara msh mengakui bhw laut adalah milik negara sehingga negara melalui
pemerintah pusat merasa paling berhak mengelola laut.
4.
Pada level saintifik, dimana pengelolaan kawasan konsevasi. hampir selalu diiringi dengan dominasi sains di
dalamnya. Pola top down dan sentralistik
yang meng abaikan partisipasi
masyarakat lokal, juga mengabaikan pengetahuan tradisional.
Sehubungan dengan prospek pengembangan KH (SDH) PL dan PPK, maka penerapan hak pengguna/ pemanfaatan (use right) yang berada pada tingkat operasional (hak akses dan hak
menangkap/mengambil unit SDH) yang dalam hal ini masyarakat daerah lebih dikedepankan ketimbang penerapan hak pilihan bersama (collective choice right) yang berada pada tingkat yang lebih tinggi dari tingkat operasional (hak pengelolaan, pembatasan dan transfer).
Melalui uraian di
atas, maka perlu memperjuangkan desain
pengelolaan (konservasi) SDH, dlm hal ini
SD perikanan dan kelautan
secara berkelanjutan dgn keseim bangan aspek-aspek penting di dalamnya menghendaki beberapa langkah sbb:
1.
Mencabut mandat DEPHUT dalam pengelolaan kawasan Konservasi laut dan menyerahkan kewe nangan kepada DKP yang menangani masalah kelautan dan perikanan,
sehingga integrasi konservasi dandesain
pengelolaan SDHL, juga SD perikanan dan kelautan bisa tercapai.
2.
Mempercepat proses desentralisasi pengelolaan kawasan konserv. laut kepada daerah sesuai amanat UU 32/2004 ttg PEMDA disertai upaya
sistematis
peningkatan kapasitas PEMDA, baik dalam administrasi dan manajemen keahlian serta kerjasama/Kemitraan.
3.
Mempercepat lahirnya PERDA yang berisi
pengakuan PEMDA
terhdp praktek pengelola an berbasis
masyarakat yang telah
terbukti efektif dalam menjaga
kelestarian SDHL.
4.
Memperkuat masyarakat nelayan/pesisir dan PPK sebagai pilar Civil
Society sehingga dapat berperan penting dalam pengelolaan SD perikanan dan kelautan, termasuk kawasan
konservasi.
5.
Zonasi berbagai kawasan konservasi yang selama ini
ada, mesti diubah dan disusun kembali bersama
nelayan dan masyarakat pesisir dengan berbasis pada kearifan lokal
tiap daerah.
Integrated
Coastal Area and Small Island Management :
1. Pengelolaan
kawasan perikananan tangkap (khususnya pelabuhan perikanan), kawasan budidaya
perairan, kawasan pasca panen (pasar higienis) dan sekitar nya, sehingga dapat
dikembangkan untuk kegiatan wisata dan lain-lain di tiap Gugus Pulau.
2. Pengelolaan
kawasan sekitar kawasan perikanan tangkap (khususnya pelabuhan perikanan),
kawasan budidaya perairan, dan kawasan pasca panen (pasar higienis) yang
berpotensi untuk pengembangan kegiatan konservasi sekaligus berfungsi sebagai
kawasan penyangga.
3.
Optimalisasi
pemanfaatan energi terbaru kan (arus, ombak, angin dan matahari) untuk
mendukung kegiatan perikanan tangkap, budidaya, pasca panen dan ekowisata
bahari.
4.
Peningkatan
dan pengembangan sistem pengawasan berbasis masyarakat.
BAB VII
PENUTUP
Pengelolaan
pesisir dan laut pada provinsi Kepulauan seperti Maluku harus dilakukan secara bertahap masih perlu
adanya banyak kajian yang dilakukan dalam mendalami potensi-potensi yang ada.
Kepulauan Maluku sangat berpotensi untuk pembangunan objek wisata, terutama
wisata bahari. Memiliki Ekosistem
T. Karang, P. Lamun dan Mangrove, Ekosistem Pantai, Lagoon, Estuari,
Ekosistem Laut Terbuka dan Ekoistem Laut Dalam (Jeluk). Memiliki keragaman spesies dan potensi SDI meliputi SDI pelagis kecil,
pelagis besar, ikan demersal, ikan karang dan ikan hias. Fauna dan flora bentos
seperti moluska, krustasea, ekhinodermata, spons, makro-alga. Dalam
pembangunannya pun harus lebih ke arah pembangunan berbasis lingkungan dengan
memanfaatkan sumber daya alam secara optimal dan tidak melupakan serta merusak
sumber dayanya tersebut. Selain itu yang paling penting adalah keterpaduan dari
setiap sektor serta adanya koordinasi antara pemerintah, stake holder dan
masyarakat agar terciptanya pertumbuhan ekonomi untuk mensejahterakan dan
meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Pendekatan
wilayah ekologis menjadi salah satu konsep yang dibutuhkan ”internalisasi”
dalam pengelolaan P3K Urgensi Wilayah Ekologis
•
Masalah :
•
Kurangnya pemahaman keterkaitan
biofisik, sosial ekonomi, dan sosial budaya dalam satuan wilayah ekologis
•
Lemahnya kapasitas dalam pemecahan
kompleksitas persoalan lingkungan
•
Perubahan
guna lahan
•
Kebutuhan :
•
Integrasi
aspek-aspek yang berpengaruh terhadap eksistensi satuan wilayah ekologis
•
Integrasikan berbagai skala kegiatan,
disiplin maupun sektor pembangunan
•
Kebijakan
pengelolaan wilayah berbasis ekosistem
•
Lingkungan P3K merupakan sistem
kompleks
•
Masalah wilayah P3K bukan masalah
parsial, tapi masalah ”spasial” (ruang dan isi ruang)
•
Telah
banyak pengalaman pendekatan wilayah ekologis dalam penataan ruang, namun
mengadopsi konsep ruang kontinental
•
Pendekatan
optimal untuk Indonesia (Maluku misalnya) ialah pendekatan wilayah ekologis
daerah kepulauan
•
Ekosistem
DAS, mangrove, lamun, dan terumbu karang butuh pendekatan sistem spasial yang
integratif intra wilayah, juga antar wilayah
•
Menjadi dasar dalam pengelompok ruang
atau pengugusan di wilayah P3K
DAFTAR PUSTAKA
Aristian, F. 2010. Pengelolaan
Wilayah Pesisir Secara Terpadu dan Berkelanjutan Yang Berbasis Masyarakat.
http//.www. pengelolaan wilayah pesisir.htlm. diakses tanggal 28 Juli 2013.
Dahuri, R., Rais, J., Ginting, S.
P., dan Sitepu, J. 2008. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan
Secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta.
Darajati, W. 2004. Strategi
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu dan Berkelanjutan.
Makalah Sosialisasi Nasional MFCDP. Direktur Kelautan dan Perikanan, Bappenas.
Rudyanto.
2004. Kerangka Kerjasama
Dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut. Disampaikan pada
Sosialisasi Nasional Program MFCDP, Direktur
Kerjasama Pembangunan Sektoral dan Daerah, Bappenas.
Sahetapy, D. 2013. Materi Kuliah
Pengelolaan Sumberdaya Hayati Pesisir Laut dan Pulau-pulau Kecil. Program Studi
Ilmu Kelautan, Program Pasca Sarjana Universitas Pattimura Ambon. Ambon.