Rabu, 03 Juli 2013

tugas pengelolaan sumberdaya hayati



PENGELOLAAN SUMBERDAYA HAYATI PESISIR DAN LAUTAN

“Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Udang Bagi Kepentingan Pembangunan”

TUGAS



Oleh
YOHANES. A. BATMOMOLIN


LOGO UNPATTI
 




PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2013
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan anugerah-Nya serta kemampuan yang diberikan sehingga Tugas ini dapat terselesaikan.
Penulisan Tugas dengan judul,. Valuasi Ekonomi Serta Sikap dan Perilaku Masyarakat Dalam Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang di Zona Pemanfaatan Langsung Pulau Matakus Kabupaten Maluku Tenggara Barat disusun dengan maksud untuk memperoleh Nilai pada Matakuliah Metode Riset.
Penulis menyadari bahwa proposal ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu saran dan kritik yang sifatnya membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan guna perbaikan dan penyempurnaan penulisan ini. Akhir kata semoga proposal ini dapat bermanfaat bagi semua orang yang membutuhkan.


Ambon,  Juni 2013
          
        Penulis







DAFTAR ISI

Halaman
LEMBARAN JUDUL .................................................................................      i
KATA PENGANTAR ................................................................................      ii
DAFTAR ISI ...............................................................................................      iii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................      iv
DAFTAR TABEL .......................................................................................      v
BAB I.    PENDAHULUAN ........................................................................      1
1.1. Latar Belakang ........................................................................      1
1.2. Perumusan Masalah ................................................................      4
1.1. Tujuan ....................................................................................      1
1.2. Manfaat ..................................................................................      4
1.1. Metode....................................................................................      4
BAB II.  TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................      5
2.1. Ekologi Wilayah Pesisir...........................................................      5
2.2. Alokasi Sumberdaya Perikanan...............................................      6
2.3. Usaha Perikanan... ..................................................................      7
2.4. Crustacea ................................................................................      7
2.5. Deskripsi Udang .....................................................................      8
2.6. Taksonomi Udang  .................................................................      9
2.7. Morfologi Udang.....................................................................      10
2.8. Daur Hidup Udang..................................................................      12
2.9. Habitat dan Penyebaran Udang................................................      12
2.10.Tingkah Laku Udang .............................................................      13
2.11. Hasil Identifikasi Organ.........................................................      14
2.12. Pembahasan Hasil Identifikasi Organ ...................................      14
2.13. Biologi Udang Ekonomi Penting (niaga) ...............................      16

BAB III.  PEMBAHASAN .........................................................................     12
3.1. Potensi Perikanan Udang di Indonesia.....................................      24
3.2. Pemanfaatan Udang di Indonesia ...........................................      39
3.3. Kendala Dalam pembudidayaan Udang...................................      39
BAB IV.  Kesimpulan .................................................................................      46
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................      47
Lampiran


















DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1. Morfologi Udang Penaeus ................................................................. 10  
Gambar 2.Morfologi Udang Panulirus spp.......................................................   17
Gambar 3. Alat Kelamin Jantan  dan Betina...................................................... 19
Gambar 4. Siklus hidup udang suku Penaeidae   ............................................... 20
Gambar 5. Siklus hidup lobster (Panulirus spp)   .............................................. 20















DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Jumlah Ekspor Hasil Perikanan Indonesia ........................................... 25  
Tabel 2. Target Ekspor Hasil Perikanan Berdasarkan Komoditas Utama........... 27
Tabel 3. Kebutuhan Impor Udang Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa..... .. 28
Tabel 4. Kontribusi Ekspor Udang Indonesia   .................................................... 29
Tabel 5. Batas Toleransi Benur dan Udang  ...................................................... 42
Tabel 6. Beban Pencemaran Limbah Organik (per ha)    .................................... 43




BAB. I. PE NDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Potensi perikanan di Indonesia sangat berlimpah, namun sampai saat ini belum dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan rakyat, karena hasil perikanan laut tersebut terkuras oleh “ilegal fishing” yang nyaris sama dengan hutan yang gundul oleh “ilegal logging”. Untuk itu informasi perikanan sangat diperlukan demi penyelamatan potensi perikanan agar tetap lestari. Hasil perikanan (ikan, udang, kepiting, cumi-cumi dan lainnya) sebagai sumber makanan protein hewani tidak akan pernah aman terlepas dari konsumsi perikanan dunia (Pratiwi. 2008).

Indonesia yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia (81.000 km) setelah Kanada dan kekayaan alam laut yang besar dan beranekaragam telah menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang berpotensi besar dalam bidang perikanan (SUBANI & BARUS, 2007 dalam Pratiwi, 2008). Namun, seiring dengan pertumbuhan populasi penduduk dunia, konsumsi hasil perikananpun semakin meningkat dari tahun ke tahun, tetapi seperti halnya kondisi perikanan dunia, kondisi perikanan tangkap Indonesia juga semakin menurun dari tahun ke tahun, sehingga hal ini mendorong upaya peningkatan aktivitas di bidang budidaya.

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang menyimpan kekayaan sumberdaya alam laut yang besar pula. Salah satunya adalah sumberdaya udang yang belum dieksplorasi secara optimal. Indonesia sebagai negara kepulauan, kedalaman lautnya relatif dangkal, sehingga merupakan habitat yang baik bagi kehidupan udang. Udang dikenal sebagai komoditi penting dari sektor perikanan, karena mempunyai nilai gizi yang tinggi. Umumnya udang diekspor dalam bentuk beku dan sebagai komoditi ekspor menduduki tempat tertinggi, sehingga dapat dijadikan sebagai sumber devisa dan protein penunjang konsumsi baik di dalam maupun di luar negeri.

Sebagai Negara Kepulauan, Indonesia memiliki laut yang luasnya 2/3 dari luas daratannya. Letaknya yang strategis, yaitu berada diantara Benua Asia dan Benua Australia serta Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, menjadikan Indonesia sebagai jalur perdagangan dan pelayaran karena memiliki sumberdaya alam yang berlimpah. Salah satu potensi sumber daya laut Indonesia yang belimpah adalah udang. Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP), 2012.  Indonesia masih menempatkan udang sebagai komoditas unggulan perikanan budidaya selama 2010-2014. Hal ini dikarenakan permintaan ekspor udang cukup tinggi sehingga menjadikannya sebagai komoditas penting (Investor Daily, 2013). Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi KKP Soen’an H. Poernomo mengatakan bahwa komoditas ini diproyeksikan mengalami peningkatan produksi tiap tahun sebesar 13 % untuk udang windu dan 16 % untuk udang vanname. Dari data Food and Agricultural Organization (FAO) di tahun 2010 juga menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat 4 dunia dengan total ekspor udang vanname sebesar 140.000 ton pada tahun 2007. Sedangkan pada tahun 2008 peringkat Indonesia naik menjadi 3 dunia di bawah China dan Thailand. Total ekspor Indonesia mencapai 168.000 ton atau naik sebesar 21% (Kabar bisnis.com, 2010).

Namun produksi komoditas ini tidak selalu mengalami kenaikan. Menurut Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP), data ekspor udang sepanjang bulan Januari-Agustus 2010 mengalami penurunan dibandingkan periode yang sama di tahun 2009. Pada periode tersebut ekspor udang mencapai 94.867 ton, dimana volume ini turun sebesar 5,76% dibandingkan periode yang sama di tahun 2009 sebanyak 100.668 ton. Ir. Saut P. Hutagalung M.Sc. yang menjabat sebagai Direktur Pemasaran Luar Negeri Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengatakan, bahwa turunnya volume ekspor pada periode tersebut dikarenakan naiknya konsumsi udang di dalam negeri. Menurut data Shrimp Club Indonesia (SCI), permintaan udang dalam negeri di tahun 2009 hanya naik 5% dan tahun 2010 naik hingga 10% dari total produksi nasional. Saut juga mengatakan bahwa naiknya konsumsi dalam negeri ini diindikasikan dengan harga jual udang dalam negeri yang lebih tinggi dibanding harga jual udang di negara eksportir lain. Misalnya harga udang vanname ukuran 70 (70 ekor per kg) di dalam negeri saat ini Rp 44.000/kg. Di Thailand untuk jenis dan ukuran yang sama harganya hanya Rp 40.000/kg. Perlu diketahui, 80% ekspor udang Indonesia berupa udang vanname ukuran 50, ukuran 60, dan ukuran 70. Sisanya adalah udang windu sebesar 15% dan udang laut sebesar 5% (Mahesa, 2010 dalam Investor daily, 2013).

Berbagai cara untuk meningkatkan kembali produksi nasional diusahakan namun karena tidak  fokus dan kurang serius makanya hasilnya belum nyata. Usaha lebih serius dan terarah mulai nampak sejak pemerintah mendirikan departemen perikanan dan kelautan (DKP). Dengan berdirinya DKP maka bududaya perikanan ditangani  oleh lembaga  setingkat direktorat jenderal, yang lebih tinggi di masa sebelumnya. Dengan peningkatan status dibarengi dengan peningkatan anggaran yang jika dikelola dengan benar akan dapat meningkatkan sumberdaya pengembangannya. Meningkatkan produksi nasional melaui peningkatan produksi penangkapan adalah satu hal yang muskil dan tidak effisien serta mengancam keberkanjutan. Hal tersebut disebabkan karena hampir disemua wilayah pengelolaan perikanan (WPP) udang telah mengalami tangkap lebih.  Oleh karena itulah maka  satu-satunya jalan untuk meningkatkan produksi udang nasional adalah melalui budidaya meskipun sampai saat ini teknologinya masih banyak menghadapi kendala sehingga sering mengalami kegagalan sehingga produktivitasnya rendah.  (Garno, 2004).


1.2.Permasalahan
Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat merumuskan masalah sebagai berikut :
1.    Bagaimana potensi sumberdaya perikanan udang di Indonesia dan di  wilayah mana saja  yang telah dimanfaatkan ?
2.    Bagaimana prinsip pengelolaan sumberdaya perikanan udang yang optimal mulai dari proses perencanaan, pemanfaatan dan Pengolahan  di Indonesia bagi kesejahteraan masyarakat ?
3.    Kendalal-kendala apa saja yang dihadapi dalam pengelolaannya dan bagaimana cara Pengendaliannya ?

1.3. Tujuan
Adapun tujuan dalam penulisan ini yaitu :

1.    Mengetahui potensi sumberdaya perikanan udang di Indonesia dan di  wilayah mana saja  yang telah dimanfaatkan.
2.    Mengetahui prinsip pengelolaan sumberdaya perikanan udang yang optimal mulai dari proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian di Indonesia bagi kesejahteraan masyarakat.
3.    Mengetahui Kendala-kendala apa saja yang dihadapi dalam pengelolaannya dan cara Pengendaliannya.

1.4.Manfaat
Adapun manfaat dalam penulisan ini :
1.    Bahan informasi yang aktual bagi para pengusaha udang di Indonesia.
2.    Bahan informasi dan pengembangan ilmu di dalam bidang Pengelolaan sumberdaya hayati  pesisir dan laut.

1.5.Metode
Tulisan ini merupakan hasil studi literatur yang dikumpulkan dari buku referensi, artikel dalam jurnal, dan buku pedoman yang kemudian ditampilkan dalam bentuk tabel dan uraian.


BAB. II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ekologi Wilayah Pesisir
Wilayah pesisir yang dimaksud di Indonesia adalah daerah pertemuan antara darat dan laut. Kearah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang, angin laut, dan perembesan air asin, sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiata manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Soegiarto dalam Wibisono, 2005).
Pada kawasan pesisir terdapat zona pantai yang merupakan daerah terkecil dari semua daerah yang terdapat di samudera dunia, berupa pinggiran yang sempit. Wilayah ini disebut zona intertidal yang mempunyai kisaran geografis seperti pantaiberbatu,pantai berpasir dan pantai berlumpur (Nybakken, 1992). Dalam wilayah pesisir terdapat satu atau lebih ekosistem dan sumberdaya. Ekosistem pesisir dapat bersifat alami dan buatan manusia antara lain berupa tambak, kawasan wisata, industri atau pemukiman (Dahuri et al., 2004).
a. Pantai Berbatu
Zona pesisir yang tersusun dari bahan keras, mangandung keragaman floradan fauna serta organisme monoseluler lainnya. Zona ini bersifat khas dankekhasannya bergantung pada geografis. Fenomena pesisir dan bentuk terjadinyazona ini dapat menjadi refleksi toleransi organisme terhadap peningkatan keterbukaankomponen abiotik seperti udara terbuka, suhu yang ekstrim dan kekeringan. Selain itu terdapat faktor biologis yang dominan diantaranya persaingan dan pemangsa.
b. Pantai Berpasir
Zona ini bukan zona habitat tetapi tidak terpisahkan dari keseluruhan zonapesisir. Pantai pesisir intertidal terdapat di seluruh zona pesisir seluruh dunia.
c. Pantai Berlumpur
Pantai berlumpur terdapat pada zona pesisir yang terlindung dari aktifitas  gelombang laut. Pantai berlumpur adalah habitat bagi makrofauna yang secara dominan terdiri dari mollusca dan crustaceae diantaranya adalah udang. Daerah ini sangat subur bagi tumbuhan pantai seperti bakau (mangrove). Guguran daun dan ranting sebagai bahan organik mempersubur perairan pantai sehingga banyak dihunihewan antara lain jenis ikan dan udang. Habitat ini rentan terhadap pencemaran yangdilakukan oleh aktifitas manusia di daratan yang membuang limbah ke sungai diteruskan ke pantai dan secara signifikan mencemari perairan laut dan kawasan pesisir.

2.2. Alokasi Sumberdaya Perikanan

Alokasi sumber daya secara efisien akan memberikan kombinasi output  maksimal yang dapat dihasilkan oleh perekonomian dengan sumberdaya dan tingkat teknologi tertentu. Definisi efisiensi yang sama dengan definisi ekonomi neoklasik, di mana persoalan efisiensi diwujudkan sebagai masalah optimasi. Pada perilaku konsumen tunggal, efisiensi dicapai dengan mengalokasikan anggaran tertentu pada kombinasi barang dan jasa yang memaksimumkan kegunaan konsumen. Pada kasus produsen tunggal, optimasi bisa dicapai melalui dua jalur: penggunaan kombinasi input yang memaksimasi laba, atau; penggunaan input yang meminimumkan biaya untuk mencapai tingkat produksi tertentu.
Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap dimaksudkan untuk menentukan alokasi alat tangkap dan penggunaan sumberdaya yang tersedia bagi usaha perikanan guna pencapaian target kesejahteraan masyarakat dan kelestarian sumberdaya perikanan. Nilai yang diperoleh merupakan solusi optimal basis pengembangan perikanan tangkap untuk diterapkan saat ini. Solusi optimal terdiri atas nilai alokasi alat tangkap, target yang dicapai dan penggunaan sumberdaya yang optimal. Alokasi alat tangkap optimal selanjutnya dibandingkan dengan alokasi alat tangkap saat ini (aktual) guna menentukan apakah diperlukan penambahan atau pengurangan jumlah alat tangkap yang dioperasikan. Pengalokasian sejumlah alat tangkap guna mencapai tujuan yang diinginkan namun pada dasarnya selalu dihadapkan pada keterbatasan (kendala) sumberdaya yang tersedia (Alimudin, 2003 dalam Batmomolin, 2011).

2.3.  Usaha Perikanan

Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan (Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004).
 Jenis usaha perikanan dapat dibedakan menjadi perikanan tangkap, pengolahan perikanan , dan perikanan budidaya.
1.        Perikanan Tangkap

Perikanan Tangkap adalah kegiatan memproduksi ikan dengan menangkap (capture) di perairan di darat (inland capture atau inland fisheries), seperti sungai, muara sungai, danau, waduk, rawa serta peraiaran laut (marine capture atau marine fisheries), seperti perairan pantai atau lepas.

2.      Pengolahan Perikanan
Pengolahan perikanan bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah produk-produk perikanan tangkap maupun akuakultur. Usaha ini juga bertujuan mendekatkan produk perikanan ke pasar dan diterima oleh produsen secara lebih luas (Effendi dan Oktariza, 2006).

3.   Perikanan Budidaya adalah kegiatan untuk memelihara, membesarkan dan atau membiakkan suatu organisme air dan memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol (Ditjen Perikanan Budidaya, 2003 dalam Batmomolin, 2013).
2.4. Crustacea
Crustacea merupakan kelas dari phyllum Arthropoda, yang mempunyai ciri umum bagian tubuh luar yang dilindungi oleh karapaks yang tersusun dari calcarious dan kitin, tubuh simetris bilateral (Suwignyo, 1989 dalam Anonym, 2013).
Crustacea adalah fillum Arthropoda yang sebagian besar hidup di laut dan bernapas dengan insang. Tubuhnya terbagi dalam kepala (cephalo), dada (thorax), dan perut (abdomen). Kepala dan dada bergabung membentuk kepala-dada (chepalothorax). Kepalanya biasanya terdiri dari lima ruas yang tergabung menjadi satu. Mereka mempunyai dua pasang antena, sepasang mandibel (mandible) atau rahang dan dua pasang maksila (maxilla). Beberapa diantaranya digunakan untuk berjalan. Ruas abdomen biasanya sempit dan lebih mudah bergerak dari padakepala dan dada. Ruas-ruas tersebut mempunyai embelan yang ukurannya sering mengecil  (Nontji, 1993 dalam Anonym, 2013).
            Crustacea mempunyai kulit (cangkang) yang keras disebabkan adanya endapan kalsium karbonat pada kutikula. Semua atau sebagian ruas tubuh mengandung apendik yang aslinya biramus. Bernapas dengan insang atau seluruh permukaan tubuh. Kelenjar antena (kelenjar hijau) atau kelenjar maxilla merupakan alat ekskresi. Kecuali jenis-jenis tertentu, crustacea pada umumnya dioecious, pembuahan di dalam. Sebagian besar mengerami  telurnya. Tipe awal larva crustacea pada dasarnya adalah larva nauplius yang berenang bebas sebagai plankton (Ghufron et al, 1997 dalam Anonym, 2013).
            Ciri khas kepala crustacea dewasa ialah adanya sepasang antena pertama, sepasang antena kedua, sepasang mandibel, sepasang maxilla pertama dan sepasang maxilla kedua. Mata majemuk tidak dianggap sebagai apendik beruas-ruassejati. Pada cladócera maxilla kedua menghilang, sedangkan pada Ostracoda maxilla kedua hilang sama sekali (Ghufron et al, 1997 dalam Anonym, 2013).
            Menurut Suwignyo (1989) dalam Anonym (2013),  pembagian lama Crustacea dibagi menjadi :
1.         Entomostraca
Terdiri dariber bagai ordo yang heterogen dan berbeda satu sama lain seperti perbedaan masing-masing ordo terhadap malacostraka.
2.         Malacostraca : golongan crustacea yang tubuhnya terbagi dengan jelas menjadi kepala thorax dan abdomen. Hampir tiap ruas tubuh mengandung sepasanga pendik. Berukuran lebih besar dari  pada entomostraca.

2.5.  Deskripsi Udang
Dari sekian banyak udang laut (Pennaidae) yang terdapat di Indonesia, ada 11 jenis yang dikategorikan mempunyai nilai niaga penting. Umumnya terdiri dari 2 marga yakni Pennaeus dan Metapennaeus. Mereka tidak hanya terdapat di laut, tetapi juga sampai ke tambak–tambak. Bahkan sekarang udang banyak dibudidayakan. Udang yang dipelihara di tambak antara lain udang windu (Pennaeus monodon), udang putih (Pennaeus merguiensis dan Pennaeus indicus), udang api–api (Metapennaeus monoceros dan Metapennaeus ensis), udang cendana (Metapennaeus brevicornis), dan udang krosok (Metapennaeus burkenroadi) (Nontji, 1993 dalam Anonym, 2013).
Udang laut menjalani dua fase kehidupan yaitu fase di tengah laut dan fase di perairan muara. Fase di tengah laut adalah fase dewasa, kawin, dan bertelur. Beberapa saat sebelum kawin, udang betina terlebih dahulu berganti kulit. Setelah mengalami pergantian kulit beberapa kali, kemudian menjadi zoea. Pada stadium zoea, larva mulai mengambil makanan dari sekitarnya. Giliranselanjutnya, bentukzoea akan berubah lagi menjadi mysis. Dari stadium mysis, larva bermetamorphosis menjadi stadium post larva. Anakan udang yang bersifat planktonik ini kemudian beruaya (migrasi) kepantai, cenderung keperairan muara sungai (Nontji, 1993 dalam Anonym, 2013).
Udang terutama jenis laut memiliki aneka warna yang indah dengan adanya pigmen dalam eksoskeleton. Beberapa jenis dapat mengadaptasikan diri dengan berubah warna sesuai warna lingkungannya, misalnya udang yang hidup di antara ganggang laut berwarna kuning kehijauan “olive yellow” denagn bercak-bercak. Ukuran bervariasi dari beberapa millimeter sampai lebih dari 50 cm (Suwignyo, 2005).


2.6.    Taksonomi Udang
Crustacea adalah hewan akuatik (air) yang terdapat di air laut dan air tawar. Kata Crustacea berasal dari bahasa latin yaitu kata Crusta yang berarti cangkang yang keras. Ilmu yang mempelajari tentang crustacean adalah karsinologi (Demarjati et al.,1990 dalam Anonymous, 2013). Jumlah udang di perairan seluruh dunia diperkirakan sebanyak 343 spesiesyang potensial secara komersil. Dari jumlah itu 110 spesies termasuk di dalam famili Penaidae. Udang digolongkan ke dalam Filum Arthropoda dan merupakan Filum terbesar dalam Kingdom Animalia (Fast dan Laster, 1992 dalam Anonymous, 2013) .Menurut Sterrer (1986) dalam Anonym, (2013) udang dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom          : Animalia
Filum                : Arthropoda
Kelas                : Crustaceae
Sub Kelas        : Malacostraca
Ordo                : Decapoda
Family             : Palaemonoidae
Penaeidae
Genus              : Macrobranchium
            Caridina
                        Penaeus
            Metapenaeus

2.7.       Morfologi Udang
Tubuh udang dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian kepala dan bagian badan. Bagian kepala menyatu dengan bagian dada disebut cephalothorax yang terdiri dari 13 ruas, yaitu 5 ruas di bagian kepala dan 8 ruas di bagian dada. Bagian badan dan abdomen terdiri dari 6 ruas, tiap-tiap ruas (segmen) mempunyai sepasang anggota badan (kaki renang) yang beruas-ruas pula. Pada ujung ruas keenam terdapat ekor kipas 4 lembar dan satu telson yang berbentuk runcing (Rizal , 2009),seperti pada Gambar 1 berikut ini.
Gambar 1. Morfologi Udang Penaeus spp. Keterangan: 1. Antennula, 2. Rostrum, 3.Carapace, 4.      Abdominal segments, 5. Scaphocerite, 6. Maksiliped ke-7. Antenna, 8. Periopods, 9. Telson, 10 & 11. Eksopod dan Endopod segmen, 12. Uropod (TAKEDA et al., 2000 dalam Pratiwi, 2004).

Bagian kepala dilindungi oleh cangkang kepala atau carapace. Bagian depan meruncing dan melengkung membentuk huruf S yang disebut cucuk kepala atau rostrum.  ada bagian atas rostrum terdapat 7 gerigi dan bagian bawahnya 3 gerigi untuk P. monodon. Bagian kepala lainnya adalah:

a. Sepasang mata majemuk (mata facet) bertangkai dan dapat digerakkan.
b. Mulut terletak pada bagian bawah kepala dengan rahang (mandibula) yang kuat.          
c. Sepasang sungut besar atau antena.
d. Dua pasang sungut kecil atau antennula.
e. Sepasang sirip kepala (scophocerit).
f. Sepasang alat pembantu rahang (maxilliped).
g. Lima pasang kaki jalan (periopoda), kaki jalan pertama, kedua dan ketiga
         bercapit yang dinamakan chela.
h. Pada bagian dalam terdapat hepatopankreas, jantung dan insang.

Bagian badan dan perut (abdomen) tertutup oleh 6 ruas, yang satu sama lainnya dihubungkan oleh selaput tipis. Ada lima pasang kaki renang (pleopoda) yang melekat pada ruas pertama sampai dengan ruas kelima, sedangkan pada ruas keenam, kaki renang mengalami perubahan bentuk menjadi ekor kipas (uropoda). Di antara ekor kipas terdapat ekor yang meruncing pada bagian ujungnya yang disebut telson. Organ dalam yang bisa diamati adalah usus (intestine) yang bermuara pada anus yang terletak pada ujung ruas keenam.
Ciri-ciri morfologi udang menurut Fast dan Laster (1992) dalam Anonym, 2013, mempunyai tubuh yang bilateral simetris terdiri atas sejumlah ruas yang dibungkus oleh kintin sebagai eksoskleton. Tiga pasang maksilliped yang terdapat dibagian dada digunakan untuk makan dan mempunyai lima pasang kaki jalan sehingga disebut hewan berkaki sepuluh (Decapoda). Tubuh biasanya beruas dan sistem syarafnya berupa tangga tali. Dilihat dari luar, tubuh udang terdiri dari dua bagian, yaitu bagian depan dan bagian belakang. Bagian depan disebut bagian kepala, yang sebenarnya terdiri dari bagian kepala dan dada yang menyatu. Bagian kepala tertutup kerapak, bagian perut terdiri dari lima ruas yang masing-masing ruas mempunyai pleopod dan ruas terakhir terdiri dari ruas perut, dan ruas telson serta uropod (ekor kipas). Tubuh udang mempunyai rostrum, sepasang mata, sepasang antena, sepasang antenula bagian dalam dan luar, tiga buah maksilipied, lima pasang cholae (periopod), lima pasang pleopod, sepasang telson dan uropod.

2.8.    Daur Hidup Udang
Daur hidup udang meliputi beberapa tahapan yang membutuhkan habitat yang berbeda pada setiap tahapan. Udang melakukan pemijahan di perairan yang relatif dalam. Setelah menetas, larvanya yang bersifat planktonis terapung-apung dibawa arus, kemudian berenang mencari air dengan salinitas rendah disekitar pantai atau muara sungai. Di kawasan pantai, larva udang tersebut berkembang. Menjelang dewasa, udang tersebut beruaya kembali ke perairan yang lebih dalam dan memiliki tingkat salinitas yang lebih tinggi, untuk kemudian memijah. Tahapan-tahapan tersebut berulang untuk membentuk siklus hidup. Udang penaeid dalam pertumbuhan dan perkembangannya mengalami beberapa fase, yaitu nauplius, zoea, mysis, post larva, juvenile (udang muda), dan udang dewasa (Fast dan Laster, 1992 dalam Anonym, 2013).
Menurut Rizal (2009), setelah telur-telur menetas, larva hidup di laut lepas menjadi bagian dari zooplankton. Saat stadium post larva bergerak ke daerah dekat pantai dan perlahan-lahan turun ke dasar di daerah estuari dangkal. Perairan dangkal ini memiliki kandungan nutrisi, salinitas dan suhu yang sangat bervariasi dibandingkan dengan laut lepas. Setelah beberapa bulan hidup di daerah estuari, udang dewasa kembali ke lingkungan laut dalam dimana kematangan sel kelamin, perkawinan dan pemijahan terjadi.

2.9.    Habitat dan Penyebaran Udang
Udang hidup disemua jenis habitat perairan dengan 89% diantaranya hidup diperairan laut, 10% diperairan air tawar dan 1% di perairan teresterial (Abele, 1982 dalam Anonymous, 2013).Udang laut merupakan tipe yang tidak mampu atau mempunyai kemampuan terbatas dan mentolerir perubahan salinitas. Kelompok ini biasanya hidup terbatas pada daerah terjauh pada estuari yang umumnya mempunyai salinitas 30% atau lebih.Kelompok yang mempunyai kemampuan untuk mentolerir variasi penurunan salinitas sampai dibawah 30% hidup di daerah terestrial dan menembus hulu estuari dengan tingkat kejauhan bervariasi sesuai dengan kemampuan spesies untuk mentolerir penurunan tingkat salinitas. Kelompok terakhir adalah udang air tawar. Udang darikelompok ini biasanya tidak dapat mentolerir salinitas diatas 5%. Udang menempatiperairan dengan berbagai tipe pantai seperti: pantai berpasir, berbatu ataupun berlumpur. Spesies yang dijumpai pada ketiga tipe pantai ini berbeda-beda sesuai dengan kemampuan masing-masing spesies menyesuaikan diri dengan kondisi fisik kimia perairan (Nybakken, 1992 dalam Anonym, 2013).

2.10.       Tingkah Laku Udang
2.10.1.    Sifat Nokturnal
Menurut Powers dan Bliss (1983) dalam Anonym (2013), udang memiliki mata yang besar dan bersifat seperti lapisan pemantul cahaya, fakta yang menguatkan dugaan bahwa udang bersifat nokturnal dimana udang lebih suka muncul pada malam hari. Jika terganggu udang dapat melompat sejauh 20-30 cm menghindar dari gangguan.

2.10.2    Pergantian Kulit (Molting)
Pada peristiwa pergantian kulit ini, proses biokimia yang terjadi, yaitupengeluaran (ekskresi) dan penyerapan (absorbsi) kalsium dari tubuh hewan. Kulitbaru yang terbentuk berwarna pucat dan setelah 2-3 hari kemudian barulah warnasemula kembali, sebabnya adalah berubahnya kualitas air ataupun karena makananserta proses pengeluaran zat tertentu di tubuh udang (Romimohtarto dan Juwana, 2007 dalam Anonym, 2013).

2.10.3    Tingkah Laku Makan
Udang termasuk golongan omnivora ataupun pemakan segalanya. Beberapasumber pakan udang antara lain udang kecil (rebon), fitoplankton, copepoda,polichaeta, larva kerang dan lumut. Untuk mendeteksi sumber pakan, udang berenangmenggunakan kaki jalan yang memiliki capit.Makanan ditangkap dengan capit kaki jalan (periopod) dan masukkankebagian mulut. Bagian makan yang kecil ditempatkan langsung disuatu tempat di dalam mulut sementara bagian makanan yang besar dibawa ke dalam mulut olehmaxilliped atau alat-alat pembantu rahang (Fast dan Lester, 1992 dalam Anonym, 2013).

2.11.          Hasil Identifikasi Organ
2.11.1       Klasifikasi Jenis Udang
Klasifikasi Udang Windu :
Kingdom            : Animalia
Phylum              : Arthropoda
Class                 : Crustacea
Sub class           : Malacostraca
Ordo                  : Decapoda
Sub ordo            : Natantia
Family                : Penacidae
Genus                : Pennaeus
Spesies              : Pennaeusmonodon

2.12.       Pembahasan Hasil Identifikasi Organ
Pada udang putih ini terdapat tiga bagian besar yaitu kepala dan badan (cephalothorax), perut (abdomen), dan ekor (uropoda). Bagian chepalotorax ini dibungkus oleh karapas dan terdapat pula rostrum yang merupakan tonjolan karapas yang bergerigi yang panjang dan melengkung dengan jumlah gigi pada bagian atas 11-13 buah dan bagian bawah mempunyai gigi sebanyak 8-14 buah gigi. Pada bagian dada mempunyai 5 pasang kaki jalan.
Udang putih jantan alat kelamin jantannya terdiri dari organ internal dan eksternal. Untuk organ eksternal, yaitu petasma yang terletak pada kaki jalan kelima yang merupakan modifikasi bagian endopodit pasangan kaki renang pertama. Sedangkan udang putih betina terdiri juga organ internal juga organ eksternal yaitu thelicum yang terletak di antara kaki jalan ketiga (Nontji, 1993 dalam Anonym, 2013).
Harpiosquilla sp memiliki tubuh ynag menyerupai belalang sembah dengan karapas menutupi kepala. Harpiosquilla sp memiliki talson yang berbentuk seperti kipas. Harpiosquilla sp biasanya hidup pada lubang – lubang atau membenamkan diri dalam pasir berlumpur.

 2.12.1         Udang Penaeidae
            Berikut penjelesan singkat tentang udang yang termasuk dalam family Penaeidae yang mana udang berfamily tersebut telah saya lakukan pembedahan dan identifikasi organ – oragan tubuhnya, dan berikut penjelasan singkat yang berhasil saya kutip dari bahan ajar yang pernah dipaparkan oleh salah satu dosen FPIK Universitas Diponegoro, Semarang.

2.12.2.       Morfologi Udang Penaeidae
-       Ada sekitar 11 jenis udang Penaeid di Indonesia yang mempunyai nilai ekonomis penting; umumnya dari genera Penaeus dan Metapenaeus.
-        Beberapa spesies telah dibudidayakan di tambak, yaitu: Udang Windu (Penaeus monodon), Udang Putih (Penaeus merguiensis dan Penaeus indicus), Udang Api-api (Metapenaeus monoceros dan Metapenaeus ensis), Udang Cendana (Metapenaeus brevicornis) dan Udang  Krosok (Metapenaeus burkenroad).
-       Secara komersial yang memiliki nilai pasaran yang tinggi adalah P. monodon dan P. merguiensis.

2.12.3.    Siklus Hidup Udang Penaeidae
Ø  Udang Penaeid mempunyai dua fase kehidupan, yaitu fase di tengah laut dan    di perairan muara.
Ø   Induk P. monodon mampu menghasilkan telur sebanyak 450.000 butir sekali bertelur, P. merguiensis 100.000 dan P. semisulcatus 300.000 butir.
Ø  Telur menetas menjadi larva yang disebut dengan nauplius
Ø  Setelah molting beberapa kali Nauplius akan berubah menjadi zoea;
Ø  Zoea akan mengalami molting beberapa kali dan berubah menjadi mysis
Ø   Mysis akan bermetamorfosis menjadi Post Larva (PL).
2.12.4    Daerah Penangkapan Udang Penaeidae

·         Daerah penangkapan udang mempunyai persamaan dengan daerah sebaran hutan mangrove
·         Penangkapan udang laut di beberapa lokasi telah berjalan dengan sangat intensif sehingga telah melebihi produksi lestari (MSY), misalnya di beberapa tempat di pantai utara Jawa, pesisir Kalimantan, Sumatra dan Irian Jaya.
·         Penangkapan biasanya dilakukan dengan menggunakan jaring arad, yang merupakan modifikasi dari trawl, yang sebenarnya dilarang oleh pemerintah.

2.13. BIOLOGI UDANG EKONOMI PENTING (NIAGA)

Secara morfologi udang-udang ekonomis penting dari suku Penaeidae (Penaeus spp. dan Metapenaeus spp.) memiliki bentuk tubuh yang sama, yang terdiri dari 2 bagian yaitu, bagian depan dan bagian belakang. Bagian depan disebut bagian kepala, yang terdiri dari bagian kepala dan dada (cephalothorax). Bagian belakang, terdiri dari perut (abdomen) dan ekor (telson). Seluruh anggota badan terdiri dari ruas-ruas (segmen) yang keseluruhannya berjumlah 19 ruas, bagian cephalothorax terdiri dari kepala 5 ruas dan dada 8 ruas, serta bagian perut 6 ruas (Gambar 1). Keseluruhan tubuhnya ditutupi oleh kerangka luar yang disebut dengan eksoskleton dan terbuat dari khitin. Kerangka tersebut mengeras, kecuali pada sambungan-sambungan antar dua ruas. Sedangkan udang dari suku Palinuridae (Panulirus spp.) dikenal juga dengan sebutan udang karang atau lobster, berukuran  tubuh lebih besar dan memanjang dengan cangkang yang tebal serta melebar secara dorsoventral (Gambar 2).
Gambar 2. Morfologi Udang Penaeus spp. Keterangan: 1. Antennula, 2. Rostrum,3.Carapace, 4. Abdominal segments, 5. Scaphocerite, 6. Maksiliped ke-7. Antenna, 8. Periopods, 9. Telson, 10 & 11. Eksopod dan Endopod segmen, 12. Uropod (TAKEDA et al., 2000).


Gambar 2. Morfologi Udang Panulirus spp. Keterangan: 1. Karapas, 2. Abdomen, 3. Telson, 4. Periopod (Kaki Jalan), 5. Antenulla, 6. Antena (http://www.odu.edu/mbutler/newsletter/index.html. Tanggal akses 2 Juni 2013)

Berdasarkan klasifikasinya udang dimasukkan ke dalam kelompok-kelompok yang berdasarkan bangsa (yang berukuran besar) Malacostraca, Latreille 1806. Malakos yang berarti lunak (HOLTHUIS 1992). HARDY (1970 dalam ROMIMOHTARTO & JUWANA, 1999) menyusun dan mengelompokkannya sebagai berikut:

Phylum          : Arthropoda
Class             : Crustacea
Sub-class      : Malacostraca
Ordo              : Decapoda
Sub-ordo       : Natanti
Super-family : Penaeidea
Family           : Penaeidae
Genus           : Penaeus, Metapenaeus,Parapenaeus
Species         : Penaeus spp.,Metapenaeus spp.,Parapenaeus spp.
Super-family : Scyllaridae
Family           : Palinuridae
Genus           : Panulirus
Species       : Panulirus spp.

1.    Reproduksi

Jenis kelamin jantan dan betina dari udang-udang tersebut, dapat dilihat dari alat kelamin luarnya dan kaki jalan (periopod). Alat kelamin jantan disebut petasma, yang terdapat pada kaki renang pertama, sedangkan lubang saluran kelaminnya (gonophore) terletak diantara pangkal kaki jalan ke tiga. Alat kelamin betina disebut thelycum, terletak di antara kaki jalan keempat dan kelima. (BARNES, 1987; Suyanto & Mudjiman, 1999 dalam Anonym, 2013 ) (Gambar 3). Alat kelamin utama disebut dengan gonad terdapat di dalam bagian cephalotorax. Pada udang jantan dewasa, gonad akan menjadi testis yang berfungsi sebagai penghasil mani (sperma). Pada udang betina, gonad akan menjadi indung telur (ovarium), yang berfungsi menghasilkan telur. Ovarium yang telah matang akan menghasilkan telur yang banyak. Telur akan merekat pada ovarium dan terangkai seperti buah anggur yang meluas sampai ekor. Sperma yang dihasilkan oleh udang jantan, pada waktu kawin akan dikeluarkan dalam kantung seperti lendir yang dinamakan kantung sperma (spermatophora). Spermatophora dilekatkan pada thelicum udang betina dan disimpan terus disana hingga saat peneluran dengan bantuan petasma. Apabila udang betina bertelur, spermatophora akan pecah dan sel-sel sperma akan membuahi telur di luar badan induknya (Suyanto & Mudjiman, 1999 dalam Anonym, 2013).

2.    Siklus Hidup

Menurut TORO & SOEGIARTO (1979) dan KING & KING (1995) di alam, udang dari suku Penaeidae hidup dalam dua fase yaitu: fase di tengah laut dan fase di perairan muara sungai sebagai berikut:

a.    Fase di tengah laut (paneluran)

Udang dewasa hidup dan berbiak di tengah laut (jauh dari pantai). Beberapa saat sebelum kawin, udang betina berganti kulit terlebih dahulu. Matang telur ditandai dengan ovari yang memanjang di bagian dorsal, melebar ke kiri dan kanan, berwarna kehijau-hijauan sampai hijau tua atau coklat tua. Keadaan tersebut biasanya menandakan udang betina sudah siap bertelur dan spermatophora telah diterima dari udang jantan.
 Gambar 3. Alat Kelamin Udang Jantan (Petasma) dan Betina (Thelycum)    (PAULA, 1998 dalam Pratiwi, 2008).

Induk udang matang telur akan melepaskan telur-telurnya (berpijah) di laut pada malam hari. Telur-telur diletakkan di dasar laut dan akan menetas, menjadi larva (dalam bentuk beberapa tingkatan) dan bersifat planktonik. Tingkatan larva pertama dan selanjutnya adalah: nauplius     zoea (protozoea)     mysis       post larva (juvenil). Larva akan terbawa arus hingga ke daerah mangrove (yang dekat dengan muara sungai) atau ke daerah-daerah asuhan
.
b.    Fase di perairan muara sungai

“Post larva” (juvenil) hidup secara merayap atau melekat pada benda-benda di dasar perairan. Juvenil (anakan udang) banyak sekali dijumpai di pantai-pantai terutama di
perairan muara sungai daerah hutan mangrove yang berfungsi sebagai tempat berlindung (asuhan) dan tempat mencari makan (feeding ground). Anakan udang hidup menyesuaikan diri pada salinitas yang bervariasi antara 4- 35%0 dengan suhu yang cukup tinggi dan tumbuh hingga menjadi juvenil muda serta siap bermigrasi kembali ke laut hingga dewasa untuk melakukan siklus berikutnya (Gambar 4 dan 5). Udang karang (lobster) memiliki siklus hidup yang kompleks. Telur-telur setelah dibuahi akan terus berkembang hingga terlihat bintik mata dan menetas menjadi larva phyllosoma dan kemudian menjadi larva “peurulus” (juvenil). Menurut MOOSA & ASWANDY (1984) dalam Garno, 2004. Lamanya waktu yang dijalani oleh tiap jenis lobster berbeda-beda di dalam siklus hidupnya. Udang yang hidup di perairan tropik akan berbeda (lebih singkat) dengan yang hidup di perairan sub-tropik. Udang betina dewasa yang tidak dibuahi setelah berganti kulit, maka akan mati dan kegagalan mengeluarkan telur juga akan mengakibatkan kematian (FIELDER, MOOSA & ASWANDY, 1984 dalam Garno, 2004).


Gambar 4. Siklus hidup udang suku Penaeidae (KING & KING, 1995 dalam Pratiwi, 2008).
Gambar 5. Siklus hidup lobster (Panulirus spp.) (ANONIM, 2004).

3.    Habitat

Udang memiliki habitat yang berbedabeda tergantung dari jenis dan persyaratan hidup dari tingkatan-tingkatan dalam daur hidupnya. Sebagian besar udang hidup di laut, yang keberadaannya di perairan dengan bentuk tubuh yang bersegmen-segmen, sehingga mudah berjalan dan berenang dengan cepat (JOESOEF, 1974 dalam Pratiwi, 2008). Habitat yang disukai udang pada umumnya adalah dasar laut yang bersubstrat lunak dan biasanya terdiri dari campuran lumpur dan pasir. Pada umumnya udang bersembunyi di siang hari untuk mengindari predator, banyak di antaranya hidup dalam lubang di pasir, di terumbu karang yang hidup dan yang mati atau di bawah batu-batu (TORO & SOEGIARTO, 1979 dalam Pratiwi, 2008). Udang karang banyak dijumpai di perairan pesisir dengan dasar perairan berupa pasir berbatu. Udang tersebut (lobster) hidup berkelompok serta bersifat “nocturnal” (mencari makan pada malam hari) dan pada siang hari mereka bersembunyi di tempat-tempat yang gelap dan terlindung di dalam lubang-lubang batu karang (SETYONO, 2006 dalam Pratiwi, 2008). Udang yang masih bersifat bentik, hidup pada permukaan dasar laut yang bersubstrat lunak (soft) (UNAR dalam TORO & SOEGIARTO, 1979 dalam Pratiwi, 2008. POERNOMO (1968) dalam Pratiwi (2008) pada penelitiannya terhadap larva udang bernilai niaga di Indonesia, mendapatkan bahwa benih stadium “post larva” udang windu (Penaeus monodon) umumnya terdapat di sepanjang pantai yang landai dengan pasang surut yang berfluktuasi. Udang ini dapat ditemukan di aliran sungai kecil dan berdasar lumpur pasiran atau pasir lumpuran yang berbatu-batu kecil (cangkang kerang). Penaeus merguiensis dan Penaeus indicus, memiliki daya penyesuaian yang tinggi terhadap semua tipe dasar perairan, tetapi lebih menyukai dasar perairan lumpur liat berpasir. Penaeus latisulcatus dan Penaeus monodon menyukai perairan dengan tekstur dasar lumpur berdebu (lumpur dan pasir) (JOESOEF, 1974) dalam (Pratiwi, 2004), oleh karenanya hutan mangrove yang memiliki dasar perairan berupa lumpur, merupakan habitat yang paling disukai oleh jenis udang, karena jejaring makanan (food web) yang tidak pernah putus menjadikannya sebagai tempat (niche) yang sangat baik untuk berlindung, tempat bertelur dan tempat mencari makan.

4.    Makanan dan Cara Makan Udang

Udang bersifat pemakan segala (omnivora), detritus dan sisa-sisa organic ainnya baik hewani maupun nabati. Dalam mencari makan udang mempunyai pergerakan yang terbatas, tetapi udang selalu didapatkan di alam oleh manusia, karena udang mempunyai sifat dapat menyesuaikan diri dengan makanan yang tersedia di lingkungannya dan tidak bersifat memilih (PUTRI, 2005 dalam Pratiwi, 2008). MORIARTY, TORO & SOEGIARTO, 1979 dalam Pratiwi, 2008. Berdasarkan penelitiannya, makanan dari beberapa jenis udang Penaeus seperti: P. esculentus, P. peblejus, P. merguiensis dan Metapenaeus bennettae bersifat omnivora, memakan apa yang tersedia di alam. Sedangkan P. merguiensis tingkat mysis memakan larva dari balanus, copepoda, polychaeta, dan pada tingkat post larva selain jasad-jasad renik, juga memakan phytoplankton dan algae hijau. Pada tingkat mysis jenis udang P. monodon, cenderung memakan diatom dan zooplankton. Krustasea pada umumnya adalah binatang yang mencari makan pada malam hari, sama halnya dengan lobster. Lobster merupakan pemangsa organisme dasar yang sangat bergantung kepada kondisi fauna dasar. Kerusakan pada dasar perairan secara langsung akan mempengaruhi kehidupan udang karang (VASSEROT,  MOOSA & ASWANDY, 1984 dalam Pratiwi, 2008). Udang lobster akan keluar dari tempat tinggalnya untuk mencari makan. Jenis yang hidup di perairan dangkal akan menuju terumbu karang atau paparan terumbu, sedangkan jenis yang hidup agak dalam akan berkeliaran di sekitar habitatnya. Makanan yang digemari adalah moluska (gastropoda, keong dan kerang) dan ekhinodermata (bulu babi, bintang laut, teripang dan lili laut). Sedangkan makanan lainnya adalah ikan (MOOSA & ASWANDY, 1984 dalam Pratiwi, 2008).

BAB. III. PEMBAHASAN

3.1. Potensi Perikanan Udang di Indonesia

Sub-Sektor Perikanan Indonesia merupakan sub-sektor yang tetap mengalami pertumbuhan di masa krisis ekonomi yang dialami Indonesia dalam 3 tahun terakhir ini. Dengan nilai ekspor di atas US$ 1,6 Milyar setahun dengan pertumbuhan rata-rata 3,1% pertahun, menjadikan sub-sektor perikanan salah satu subsektor yang membantu perekonomian Indonesia di masa krisis. Ekspor komoditi perikanan bertumpu pada dua jenis komodoti utama, yaitu udang dan kelompok ikan laut seperti tuna, cakalang dan tongkol. Komoditi udang sangat berperan dalam peningkatan ekspor sub-sektor perikanan, karena mempunyai kontribusi 60% dari total nilai ekspor sub-sektor perikanan dengan nilai ekspor diatas satu milyar dolar Amerika setahun. Ekspor udang Indonesia sampai saat ini masih sangat mengandalkan pada pasar Jepang dengan nilai ekspor US$ 635.174.000 dan kontribusinya sebesar 62,9% dari total ekspor udang Indonesia di tahun 1998. Walaupun Jepang merupakan pasar utama udang dunia, tetapi pasar Eropa, Asia dan Amerika Serikat yang masih terus tumbuh merupakan pasar yang menarik dan dapat dikembangkan dalam jangka panjang. Ekspor Udang Indonesia merupakan 12,1% dari total ekspor udang dunia dengan permintaan pasar dunia senilai US$ 11 milyar setahun.(Susanto, 2012).

Perkembangan produksi udang Indonesia di 3 (tiga) tahun terakhir terus menunjukkan peningkatan. Prosentase peningkatan produksi tahun 2012 mencapai 32,87%, dari 400.385 ton pada tahun 2011 menjadi 457.600 ton pada tahun 2012. Pada tahun 2014, ditargetkan adanya peningkatan produksi sebesar 200 ribu ton, melalui optimalisasi luas areal tambak mencapai lebih dari 20 ribu Ha. Adanya peningkatan produksi ini akan memberikan tambahan devisa negara dari ekspor udang.
 Udang Penaeus yang merupakan niaga utama terdiri dari Penaeus monodon (udang Windu/ Pacet), Penaeus merguiensis (udang Jerbung/Putih), Penaeus indicus (udang Kelong/ Poper), Penaeus semisulcatus (udang Bago/Kembang), Penaeus orientalis (udang Wangkang/Tajam), Penaeus canaliculatus (udang Lurik), Penaeus latisulcatus (udang Raja) dan Penaeus esculentus (udang Loreng/Harimau Belang). Udang Metapenaeus ada 6 jenis yaitu: Metapenaeus monoceros (udang Dogol/Apiapi), Metapenaeus affinis (udang Pasir), Metapenaeus ensis (udang Berus), Metapenaeus lysianassa (udang Kuning/ Brintik), Metapenaeus brevicornis (udang Cendana) dan Metapenaeus dopsoni (udang Kapur). Udang air tawar Macrobrachium hanya satu jenis yaitu Macrobrachium rosenbergii (udang Galah) sedangkan udang karang Panulirus ada 6 jenis: Panulirus versicolor (udang Rejuma), Panulirus polyphagus (udang Jarak), Panulirus homarus (udang Pantung atau udang Bireng), Panulirus longicep (udang Bunga), Panulirus ornatus (udang Cemara/ Ketangan) dan Panulirus penicilatus (udang Batu). Usaha penangkapan udang-udang tersebut terutama di perairan: Papua, Maluku, Kalimantan, Sulawesi Selatan, Jawa dan Sumatera (Pratiwi, 2004).

3.1.1. Potensi Eksport Udang Di Indonesia

Tanpa mengabaikan upaya pemenuhan kebutuhan domestik, produksi perikanan Indonesia, terutama untuk komoditas bernilai tinggi, didorong untuk memasok keperluan ekspor. Total ekspor produk perikanan Indonesia pada tahun 2007-2011 dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah Ekspor Hasil Perikanan Indonesia Menurut Komoditas Utama Tahun  2007-2011

Komoditas
Tahun (ton)
2007
2008
2009
2010
2011
Udang
157.545
170.583
150.989
145.092
158,062
Tuna, Cakalang
121.316
130.056
131.550
122.450
141,774
Ikan lainnya
393.679
424.401
430.513
622.932
618,294
Kepiting
21.510
20.713
18.673
21.537
23,089
Lainnya
160.279
165.923
149.688
191.564
218,130








Sumber : KKP (2012)
Tabel 1. menunjukkan bahwa ekspor produk perikanan Indonesia cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Seluruh komoditas unggulan sektor perikanan Indonesia antara lain adalah udang, ikan tuna, cakalang, tongkol, rumput laut, ikan hias, dan lain sebagainya memiliki potensi yang besar untuk diperdagangkan di pasar dunia dengan tujuan utama adalah Jepang, Amerika, dan Uni Eropa. Pada Tabel 1 terlihat bahwa udang memiliki volume ekspor terbesar di pasar dunia bila dibandingkan dengan hasil sumberdaya laut Indonesia lainnya.
Peningkatan ekspor yang terjadi tidak terlepas dari meningkatnya konsumsi produk perikanan, karena adanya perubahan pola makan masyarakat dunia dari red meat ke white meat. Hal ini berarti peluang terhadap peningkatan ekspor komoditas perikanan semakin besar. Meskipun jumlah ekspor udang Indonesia masih tergolong fluktuatif dan mengalami penurunan pada tahun 2009 dan 2010, namun udang tetap menjadi salah satu komoditas andalan ekspor perikanan Indonesia. Fluktuasi ekspor udang Indonesia tersebut diduga karena adanya persaingan yang cukup ketat dengan negara eksportir udang lainnya yang diketahui memiliki teknologi, cara pengolahan, dan strategi pemasaran yang lebih baik (Setiyorini, 2010).
Seiring dengan perkembangan dan kemajuan ilmu dan tekonologi khususnya di bidang pangan, udang semakin akrab dengan para konsumen di negara maju sebagai bahan pangan yang bergizi. Hal ini membuat harga udang di pasar internasional sangat beragam. Keragaman harga ini bukan saja berkaitan dengan ukuran, warna, tekstur, cita rasa, dan bentuk penyajian produknya, tetapi juga berkaitan dengan preferensi konsumen dan negara asal udang tersebut. Udang putih (white shrimps) yang berasal dari laut tropika di pasaran Amerika Serikat dan Eropa memiliki harga yang lebih baik jika dibandingkan dengan udang warna lain diperairan yang sama. Kuruma shrimps (Panaeus japonicus) memiliki harga yang istimewa di pasar Jepang. Di pasaran Eropa, tiger shrimps memiliki harga yang tinggi karena ukuran, tekstur daging, dan cita rasanya banyak digemari oleh para konsumen di pasar yang bersangkutan (Murty, 1991).
Melihat besarnya potensi udang untuk terus diekspor ke dunia, Direktorat Pemasaran Luar Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan menetapkan jumlah target nilai ekspor yang besar pada produk udang hingga tahun 2014. Secara terperinci, jumlah target nilai ekspor produk hasil perikanan tahun 2012-2014 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Target Ekspor Hasil Perikanan Berdasarkan Komoditas Utama Tahun   2012-2014
No
Komoditas
Nilai Ekspor (US$ 1000)
2012
2013
2014
1
Udang-Shrimp
1.327.954
1.812.891
2.042.576
2
Tuna/Cakalang-Tuna/Skipjack
481.742
540.135
714.256
3
Sarden Kaleng
44.944
46.332
62.787
4
Ikan Dasar (Kakap Merah,Putih, Layur, dll)
818.744
827.788
1.029.043
5
Kerapu
239.235
242.124
302.428
6
Kepiting
262.001
333.424
318.289
7
Tilapia
21.607
21.868
27.314
8
Bandeng
4.358
4.411
5.509
9
Rumput Laut
125.465
125.951
126.097
10
Lainnya
300.842
303.398
372.190

TOTAL
3.600.000
4.200.000
5.000.000
Sumber: Direktorat Pemasaran Luar Negeri, KKP (2011)
Pada tahun 2011, target yang ditetapkan untuk nilai ekspor produk perikanan sebesar US$ 3,2 miliar disambut dengan optimis oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan akan tercapai. Perhitungan dari Januari – Oktober 2011, total nilai ekspor perikanan sudah mencapai US$ 2,8 miliar, sehingga target US$ 3,2 miliar akan tercapai diakhir tahun 20112. Data saat ini ternyata menunjukkan bahwa target tersebut telah tercapai. Tabel 3 menunjukkan bahwa udang ditargetkan akan memperoleh nilai ekspor hasil perikanan yang paling besar dari komoditas perikanan lainnya yaitu sebesar US$ 1.3 miliar pada tahun 2012 dan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa udang tetap menjadi komoditas primadona hasil perikanan Indonesia untuk terus ditingkatkan kinerja ekspornya, sehingga mampu memenuhi permintaan dunia akan udang yang terus meningkat.
Perkembangan produksi udang Indonesia di 3 (tiga) tahun terakhir terus menunjukkan peningkatan. Prosentase peningkatan produksi tahun 2012 mencapai 32,87%, dari 400.385 ton pada tahun 2011 menjadi 457.600 ton pada tahun 2012. Pada tahun 2014, ditargetkan adanya peningkatan produksi sebesar 200 ribu ton, melalui optimalisasi luas areal tambak mencapai lebih dari 20 ribu Ha.(KKP, 2012). Oleh karena itu, menjadi hal yang sangat penting untuk melihat besarnya peluang pasar yang dapat dipenuhi oleh Indonesia. Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa merupakan pasar utama ekspor udang Indonesia. Ketiga negara tujuan ekspor ini memiliki pola konsumsi yang berbeda akan udang, sehingga kebutuhan impor tiga negara ini pun berbeda. Kebutuhan tiga negara tujuan ekspor terbesar di dunia akan udang dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Kebutuhan Impor Udang Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa Tahun 2002 – 2008

Tahun
Jepang
Amerika Serikat
Uni Eropa
Volume
(ribu ton)
Trend
(%)
Volume
ribu ton)
Trend
(%)
Volume
ribu ton)
Trend
(%)
2002
251,19
-
332,88
-
345,73
-
2003
235,49
-0,06
399,62
0,20
412,33
0,19
2004
244,21
0,04
396,96
-0,01
403,75
-0,02
2005
234,73
-0,04
397,38
0,00
433,60
0,07
2006
232,18
-0,01
420,31
0,06
490,08
0,13
2007
208,99
-0,10
417,30
0,01
495,52
0,01
2008
198,52
-0,05
431,75
0,03
471,29
-0,05
Rata-rata pertumbuhan
229,33
-0,04
399,46
0,05
436,04
0,06
Sumber: BPS (2009), (diacu dalam Setiyorini 2010), (diolah)

Tabel 3 menunjukkan kebutuhan konsumsi akan udang di Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Dari tahun 2002-2008, kebutuhan udang di Jepang tidak mencapai 300 ribu ton, sedangkan di Amerika Serikat dan Uni Eropa selalu berada diatas 300 ribu. Rata-rata pertumbuhan volume kebutuhan udang di Amerika Serikat mencapai 399 ribu ton dengan kenaikan rata-rata sebesar 0,05 persen. Meskipun rata-rata peningkatan kebutuhan udang di Uni Eropa hanya berbeda 0,01 persen dengan Amerika Serikat, namun dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa Uni Eropa memiliki kebutuhan udang yang lebih besar dibandingkan Amerika Serikat dan Jepang. Setiap tahunnya, volume kebutuhan udang di Uni Eropa selalu berada di atas Amerika Serikat dan Jepang. Ini menunjukkan bahwa Uni Eropa telah menjadi pasar ekspor terbesar untuk komoditas udang. Banyaknya kebutuhan impor udang di Uni Eropa selalu diupayakan untuk terpenuhi seluruhnya melalui permintaan ke berbagai negara eksportir udang, salah satunya Indonesia. Permintaan impor udang oleh Uni Eropa yang dapat dipenuhi oleh Indonesia dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kontribusi Ekspor Udang Indonesia Terhadap Kebutuhan Impor Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa Tahun 2002 – 2008
Tahun
Jepang
Amerika Serikat
Uni Eropa

Volume
(ribu ton)
Trend
(%)
Volume
ribu ton)
Trend
(%)
Volume
ribu ton)
Trend
(%)
2002
59,62
-
16,84
-
16,11
-
2003
60,24
0,01
21,90
0,30
24,10
0,50
2004
49,28
-0,18
40,54
0,85
24,35
0,01
2005
48,05
-0,02
50,70
0,25
27,18
0,12
2006
50,58
0,05
61,24
0,21
35,23
0,30
2007
40,33
-0,20
60,40
-0,01
28,85
-0,18
2008
39,58
-0,02
80,48
0,33
26,83
-0,07
Rata-rata pertumbuhan
49,67
-0,06
47,44
0,32
26,09
0,11
Sumber: BPS (2009), (diacu dalam Setiyorini 2010), (diolah)
Tabel 4 menunjukkan kontribusi ekspor udang Indonesia terhadap kebutuhan impor di tiga negara importir utama komoditas udang. Pemenuhan kebutuhan impor udang di Uni Eropa memiliki rata-rata pertumbuhan sebesar 11 persen, namun kontribusi Indonesia terhadap kebutuhan udang di Uni Eropa masih sangat kecil dibandingkan Jepang dan Amerika Serikat. Pemenuhan kebutuhan di Uni Eropa dari udang asal Indonesia cenderung berada dibawah 30.000 ton, sehingga untuk mengatasi hal ini pada tahun 2012 ditargetkan ekspor udang menjadi 300.000 ton untuk memenuhi kebutuhan dunia akan udang, khususnya di Uni Eropa (Bisnis, 2012).

3.1.2.  Potensi Perikanan Udang  Laut

Penelitian dan pemanfaatan udang laut dangkal di perairan Indonesia sudah banyak dilakukan, bahkan tingkat pemanfaatannya sudah cukup tinggi terutama di beberapa daerah perairan yang potensial diusahakan seperti laut arafura, laut jawa dan selat malaka. Sebagai upaya diversifikasi pemanfaatan biota sumber daya hayati yang memiliki peluang untuk diusahakan maka mulai dikaji sumber daya udang diperairan >200 m atau laut dalam selanjutnya disebut udang laut dalam. Di perairan Indonesia sumber daya udang laut dalam belum dimanfaatkan sama sekali, hal tersebut disebabkan belum tersedianya informasi dasar seperti aspek biologi, ekologi, jenis-jenis, daerah penyebaran, dan teknologi penangkapan. Indikasi daerah penyebaran udang laut dalam di Indonesia tersirat dari hasil penelitian ekspedisi Snellius II tahun 1984 yaitu diketemukannya jenis udang caridea di perairan Indonesia, beberapa pakar juga menyebutkan adanya penyebaran dan konsentrasi udang panaeid yang terdapat pada kedalaman lebih dari 100 m di perairan Indonesia. (Wiryawan, 2012).
Udang laut dalam sebagian besar termasuk dalam divisi Carridea yang selanjutnya disebut udang carridea. Beberapa jenis udang yang termasuk divisi panaidea yang umum dijumpai diperairan umum laut dangkal juga ditemukan diperairan laut dalam. Jenis udang Carridea yang sering tertangkap dan dapat diperdagangkan secara komersial meliputi Heterocarpus woodmasoni, H sibogae, H gibbosus, dan Plesionika spp. Sedangkan jenis udang paneid meliputi parapaneus spp dan Metapenaeopsis liui. Habitat yang disenangi oleh udang laut dalam terutama dasar perairan yang terdiri dari pasir campur lumpur halus.

Daerah penyebaran udang laut dalam di perairan Kei dan Tanimbar terdapat pada kisaran 200-600 m, beberapa jenis yang termasuk family pandalidae, Panaeidae, Crangonidae, dan Polichelidae dapat mencapai kedalaman lebih dari 500 m. Pemusatan penyebaran udang di perairan Kei terutama pada kedalaman antara 300-400 m dan diperairan tanimbal 200-300 m. Salah satu fenomena yang menarik adalah semakin ke arah selatan dari perairan tanimbar hingga daerah selatan Timor semakin sering dijumpai jenis udang H sibogae dan Metanephrops spp. Khusus untuk jenis Eugonotonotus chacei penyebarannya terutama terdapat disebelah utara kepulauan tanimbar (Wiryawan, 2012).

a.    Fam : Penaeidae (Penaeus Indicus)
               Nama English : Indian White prawn
Udang Jenis ini banyak terdapat di Perairan Laut China Selatan (Laut Natuna), laut India, laut Australia perairan Asia tenggara, dan Perairan Indonesia lainnya, udang ini memiliki ukuran max 228 mm dan berat 35 gr, Udang jenis ini banyak diminati untuk Products : Whole, Headless on. Market Negara2 Asia, seperti China, Japan, Taiwan, serta Negara USA, dan Eropa.
Dalam bahasa Indonesia disebut juga : Udang Putih / Bahasa Chinese : Bai ci



b.    Fam : Penaeidae (Penaeus latisulcatus)
               Name English : Western king prawn
Udang Jenis ini banyak terdapat di Perairan Laut China Selatan (Laut Natuna), laut India, laut arab, perairan Asia tenggara, dan Perairan Indonesia lainnya, udang ini memiliki ukuran max 200 mm dan berat 60gr, Udang jenis ini banyak diminati untuk Products : Whole. Market Negara2 Asia, seperti ASEAN, dan China
Dalam bahasa Indonesia disebut juga : Udang susu, / Bahasa Chinese : Sha ma





c.    Fam : Penaeidae (Penaeus merguiensis)
               Name English : Banan prawn
Udang jenis ini banyak terdapat di Perairan Laut China Selatan, laut Arab, Pakistan, Australia dan Kepulauan Indonesia, udang ini memiliki panjang 240 mm dan berat 50 gram, udang jenis ini banyak diminati untuk Products : Whole, Headless. Market Negara2 Asia, seperti Singapore, Malaysia, Indonesia, dan USA, Japan, Australia.
Dalam bahasa Indonesia disebut juga : Udang putih / Bahasa Chinese : Bai ci hong jiao



d.    Fam : Penaeidae (Penaeus Japonicus)
               Name English : Kuruma prawn
Udang jenis ini banyak terdapat di Perairan Laut China Selatan, Laut Korea dan Jepang, Afrika Selatan, laut Australia utara, dan Perairan asia tenggara. udang ini memiliki ukuran panjang 225 mm, dan berat 80gr, udang jenis ini banyak diminati untuk Products : Whole, Headless on. Market :USA, EU, Japan, dan ASEAN
Dalam bahasa Indonesia disebut juga : Udang Harimau / Bahasa Chinese : Lao hu xia



e.    Fam : Penaeidae (Penaeus Monodon fabricius)
               Name English : Giant tiger prawn
Udang jenis ini banyak terdapat di Perairan Indo Pasifik, bagian timur afrika, laut Gulf, perairan India, dan perairan ASEAN. udang ini memiliki ukuran panjang 330 mm, dan berat 250gr, udang jenis ini banyak diminati untuk Products : Whole, Headless on, Tail-on. Market : USA, Japan, China, EU and ASEAN.
Dalam bahasa Indonesia disebut juga : Udang Harimau / Bahasa Chinese : Jiu Jie Xia



f.     Fam : Penaeidae (Penaeus Semisulcatus)
               Name English : Green tiger prawn
Udang jenis ini banyak terdapat di Perairan Laut Indo pasifik, Afrika tenggara, Laut India, Laut Jepang, laut Australia dan Kepulauan Indonesia. udang ini memiliki ukuran panjang 228 mm, dan berat 130gram, udang jenis ini banyak diminati untuk Products : Whole, peeled, Headless. Market : USA, EU dan ASEAN
Dalam bahasa Indonesia disebut juga : Udang Harimau / Bahasa Chinese : Xi jiao




3.1.3.  Potensi Perikanan Budidaya Udang


Udang adalah komoditas unggulan perikanan budidaya yang berprospek cerah. Udang termasuk komoditas budidaya yang sudah dikenal dan sangat diminati oleh masyarakat. Ada banyak jenis udang yang tersebar di alam. Mulai dari perairan laut, payau hingga perairan tawar. Sebagian sudah dapat dibudidayakan dan berhasil. Lokasi budidaya udang secara umum tersebar di seluruh daerah yang ada di Indonesia. Sentra produksi udang terdapat di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Perkembangan produksi udang sendiri sempat mengalami penurunan secara nasional namun pada tahun 2010 yang lalu produksi udang vaname telah stabil dan cenderung naik. Hanya sebagian kecil sentra udang yang mengalami penurunan akibat adanya penyakit seperti provinsi Lampung yang sampai dengan saat ini belum mampu memproduksi udang seperti sedia kala. Beberapa daerah seperti Jawa Barat dan Sulawesi Tenggara menjelma menjadi sentranya budidaya udang vaname. Peningkatan produksi udang vaname kedua daerah tersebut sungguh luar biasa. Peningkatan produksi udang vaname ini karena mulai diaktifkan kembali beberapa tambak idle dan penumbuhan pembudidaya-pembudidaya baru. (Ditjen Perikanann Budidaya, 2011).

Udang adalah komoditas yang sangat mahal harganya baik di pasar domestik maupun pasar ekspor. Potensi pengembangan budidaya udang di Indonesia sangat terbuka. Apalagi Indonesia memiliki perairan yang sangat mendukung budidaya tambak. Selain itu, terdapat banyak jenis udang di Indonesia dan sebagian telah budidayakan. Udang sendiri adalah salah satu penyumbang devisa terbesar dari sektor perikanan sehingga peluang usaha budidaya sangat potensial dan terbuka lebar. Pada awalnya budidaya udang sangatlah sulit terutama karena sulitnya memperoleh benih untuk budidaya. Ketergantungan pada benih alam menyebabkan kesinambungan budidaya tidak berjalan dengan baik karena bergantung pada musim. Namun kini benih terutama vaname dan windu mudah didapatkan sehingga kesinambungan budidaya udang dapat terjaga. (Ditjen Perikanann Budidaya, 2011)
Ada banyak jenis udang yang tersebar di perairan Indonesia. Berikut ini adalah beberapa jenis udang yang telah berhasil dibudidayakan dan memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi, yaitu :
1. Udang Putih
Udang putih sering disebut sebagai udang jerbung dengan karakteristik yakni kulitnya tipis dan licin, warna putih kekuningan dengan bintik hijau dan ada yang berwarna kuning kemerahan. Udang putih atau udang jerbun memiliki banyak jenis antara lain :
  • Udang Peci, dengan karakteristik yakni warna kulitnya lebih gelap dan berbintik hitam. Udang ini memiliki nama dagang White  Shrimp.
  • Udang Bambu, dengan karakteristik yakni warna kulitnya kuning berbercak merah seperti bamboo.Nama dagang udang ini adalah Bamboo Shrimp.
  • Udang Banana , dengan karakteristik yakni warna kulitnya kuning seperti kulit pisang dengan nama dagang Banana Shrimp.
Udang putih sudah lama dapat dibudidayakan. Terkadang sebagian orang menyamakannya dengan udang vannamei dikarenakan karakteristik warnanya yang mirip. Padahal kedua jenis udang ini berbeda. Udang putih memiliki nama ilmiah Penaeus merguiensis ini, banyak dikembangkan sebagai komoditas budidaya di daerah Indonesia. Sentra pengembangan budidaya udang putih terdapat di provinsi Jawa barat, kalimantan timur, sumatera utara, jawa tengah dan jawa timur.
2. Udang Windu
Udang ini dikenal sebagai black tiger atau tiger prawn. Orang inggris menyebutnya sebagai tiger karena karakteristik dari corak tubuhnya yang berupa Udang ini kulitnya tebal dan keras, berwarna hijau kebiruan dengan garis melintang yang lebih gelap, ada juga yang berwarna kemerah-merahan dengan garis melintang coklat kemerahan. Nama dagang Tiger Shrimp.
Windu adalah jenis udang yang memiliki nilai ekonomis cukup tinggi. Udang windu memiliki nama ilmiah Penaeus monodon. Walaupun sempat ambruk akibata serangan hama penyakit. Udang windu perlahan bangkit dan saat ini mulai berkembang sangat baik di berbagai daerah di Indonesia. Budidaya udang windu terdapat hampir di semua wilayah Indonesia. Sentra budidaya udang windu sendiri terletak di provinsi Sumatera selatan, jawa barat dan sulawesi selatan.
3. Udang Vannamei
Udang vannamei dikenal memiliki nama ilmiah yakni Penaeus vannamei. Udang jenis ini memiliki 2 gigi pada tepi rostrum pada bagian ventral dan 8 – 9 gigi pada bagian tepi rostrum bagian dorsal. Penaeus vannamei memiliki toleransi salinitas yang lebar, yaitu dari 2 – 40 ppt, tapi akan tumbuh cepat pada salinitas yang lebih rendah, saat lingkungan dan darah isoosmotik (Wyban et al., 1991).
Udang vannamei adalah jenis udang yang pada awal kemunculannya di Indonesia dikenal sebagai udang yang dapat dibudidayakan denga tingkat ketahanan yang tinggi terhadap serangan hama penyakit. Namun sejak tahun akhir 2008, udang vannamei juga terkena serangan hama penyakit yang menyebabkan jatuhnya produksi udang secara nasional. Udang vannamei yang memiliki nama ilmiah Litopenaeus vannamei ini sentra lokasi budidayanya terdapat pada provinsi Lampung, Jawa timur, nusa tenggara barat dan sumatera selatan.

4. Udang rostris
Udang rostris memiliki nama ilmiah Litopenaeus stylirostris. Udang jenis ini dapat dibudidayakan pada sistem tertutup pada kelas pembesaran secara intensif. Udang rostris memiliki tubuh berwarna biru, mempunyai rostrum bergigi 7 di bagian dorsal dan 1 gigi lunak di bagian ventral, duri kecil ditemukan pada tepi posterior segmen abdomen kelima. Udang jenis telah dapat dilakukan pembenihan oleh BBPBAP Jepara. Daerah budidaya udang rostris terdapat di provinsi Aceh dan Nusa Tenggara Barat.
5. Udang api-api
Udang api-api termasuk salah satu jenis udang yang sudah dapat dilakukan pembudidayaannya. Udang jenis ini memiliki ukuran tubuh yang tidak besar. Udang api-api memiliki nilai ekonomis penting dan mempunyai peranan penting dalam siklus rantai makanan dan transfer energi. Sentra budidaya udang api-api terletak di provinsi jawa barat, jawa tengah, jawa timur dan provinsi sulawesi selatan.
6. Udang Barong
Udang barong memiliki nama ilmiah Panulirus sp. Udang ini biasa pula disebut sebagai udang karang. Sebagian orang menyebut pula udang jenis ini dengan sebutan lobster laut. Udang barong aktif mencari makan pada malam hari. Pada siang hari, udang ini lebih suka tinggal di dalam lubang. Udang ini seperti udang sikat tetapi ukurannya ada yang besar dan kulitnya keras. Warnanya ada bermacam-macam, ada yang hijau, coklat, coklat kemerahan dan hitam kebiruan, biasanya berbintik-bintik putih, merah atau coklat. Perkembangan budidaya udang barong belum begitu pesat. Hanya beberapa daerah saja yang terpantau melalui data statistic perikanan budidaya mengusahakan budidaya lobster laut ini. Total produksi lobster laut ini secara nasional mencapai 311 ton pada tahun 2010. Produksi nasional yang sebesar tersebut berasal dari provinsi Sumatera Utara, Jawa Timur, Bali, NTB Sulawesi Tenggara dan Kalimantan Timur. Sebagian besar produksi udang barong berasal dari Sulawesi Tenggara.
7. Udang Galah
Udang ini adalah udang air tawar. Karakteristik udang jenis ini yakni memiliki panjang maksimal tubug hingga 30 cm, warnaynya bermacam-macam, ada yang hijau kebiruan, hijau kecoklatan, kuning kecoklatan dan berbercak seperti udang windu tetapi bentuknya lebih bulat. Udang galah lebih menyukai untuk hidup di hilir sungai.
Perkembangan produksi udang galah hasil budidaya cukup baik. Udang galah dapat dibudidakan di kolam dan saat ini mulai dikembangkan budidaya udang galah dengan mengintegrasikan dengan tanaman padi atau biasa disebut dengan budidaya minapadi. Produksi udang galah pada tahun 2010 berada pada kisaran 1.400 ton yang sebagian besar berasal dari budidaya kolam. Sentra produksi udang galah sebagian besar terletak di pulau Jawa yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur. Di luar jawa udang galah dibudidayakan di provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat. Bali ditahun 2010 merupan penyumbang terbesar produksi udang galah nasional dengan total produksinya pada tahun 2010 sebesar 742 ton.
8. Lobster Air Tawar
Lobster air tawar memiliki ciri- ciri morfologi tubuh terbagi dalama 2 bagian, yakni kepala (chepalothorax) dan badan (abdomen). Antara kepala bagian depan dan bagian belakang dikenal dengan nama sub-chepalothorax. Cangkang yang menutupi kepala disebut karapak (carapace) yang berperan dalam melindungi organ tubuh, seperti otak, insang, hati, dan lambung. Karapak berbahan zat tanduk atau kitin yang tebal dan merupakan nitrogen polisakarida yang disekresikan oleh kulit epidermis dan dapat mengelupas saat terjadi pergantian cangkang tubuh (molting). Perkembangan budidaya lobster air tawar di Indonesia belum maksimal. Hal ini disebabkan sulitnya memperoleh benih yang bersumber dari alam. Oleh karenanya tidak banyak daerah yang mampu memproduksi udang galah. Data tahun 2010 menggambarkan bahwa hanya provinsi beberapa daerah saja yang mengusahakannya dan secara nasional produksi lobster air tawar hanya 8 ton selama tahun 2010 yang lalu (Ditjen Perikanan Budidaya, 2011)

3.2. Pemanfaatan Udang di Indonesia dalam rangka Peningkatan Kesejahteraan    Masyarakat.

Ada 3 marga udang yang mempunyai nilai ekonomi penting yaitu: Penaeus, Metapenaeus dan Panulirus. Udang Penaeus dan Metapenaeus merupakan komoditi ekspor perikanan utama yang mempunyai potensi cukup tinggi dan dagingnya gurih serta bergizi. Disamping itu udang tersebut sangat disukai karena seluruh tubuhnya dapat dimanfaatkan sebagai penunjang kebutuhan ekonomi masyarakat, seperti kulitnya dapat dijadikan campuran pembuatan pelet, dagingnya dapat diolah sebagai bahan makanan seperti file udang, kerupuk, abon dan terasi. Udang Penaeus dikategorikan sebagai udang yang mempunyai nilai niaga utama, diikuti oleh Metapenaeus yang merupakan udang penting yang kedua, disusul oleh udang air tawar Macrobrachium, dan yang terakhir adalah udang karang Panulirus (TORO & SOEGIARTO, 1979 dalam Pratiwi, 2004).

Luas lahan yang dijadikan demfarm saat ini mencapai 1.000 hektare (ha) yang tersebar di Kabupaten Indramayu, Cirebon, Karawang, dan Subang Jawa Barat serta Serang dan Tanggerang, Banten. Pada tahun 2013, ditargetkan akan ada 2.000 hektare tambak demfarm. "Rencananya perluasan ini akan kita kembangkan di Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Lampung, dan Sumatera Utara," katanya. Dia berharap demfarm seluas 1.000 ha itu dapat berkontribusi terhadap produksi udang nasional sebesar 45.000 ton/tahun atau senilai Rp2,25 triliun. Pada tahun 2014, pihaknya berupaya mengoptimalkan luas areal tambak lebih dari 20.000 ha di Pantura Jawa Barat dan Banten dengan target produksi sebanyak 200.000 ton/tahun (Investor Daily/tk/ant, 2013).

3.3. Kendala Dalam pembudidayaan Udang
Budidaya udang intensif adalah usaha padat modal, yang dapat di kategorikan sebagai kegiatan industry dengan jenis komoditas produksi utama”biomassa udang” seperti kegiatan industry yang lain maka dalam kondisi iklim investasi kondusif dan pasar yang mapan, keuntungan usaha akan berbanding lurus dengan kecepatan dan volume produksi. Oleh karena itulah maka tidak mengherankan jika petani udang berusaha memacu produksi udang dengan membesarkan udang berkepadatan tinggi dengan memberikan pakan yang berlebihan. Mereka lupa bahwa memberikan pakan yang berlebihan itulah yang menjadi awal kendala bagi keberlanjutan produksi udangnnya, karena dari kelebihan pakan (bahan organik) itulah penurunan kualitas air terjadi sehingga badan air menjadi  kurang mendukung kehidupan udang, tetapi justru kondusif bagi kehidupan mikro organisme, termasuk penyakit udang (Garno, 2004).

3.3.1. Limbah Organik
Pemberian pakan yang berlebihan menyebabkan terbentuknya limbah organik dalam jumlah yang relatif besar, yang ada dalam bentuk padatan ynag terendap, koloid, tersuspensi dan terlarut. Pada umumnya, limbah organic dalam bentuk padatan akan langsung mengendap menuju dasar perairan; sedangkan sedngkan bentuk lainnya berada di badan air, baik di bagian yang aerob  maupun anaerob. Dimanapun limbah organic tersebut berada, jika tidak dimanfaatkan oleh fauna perairan lain seperti ikan, kepiting, bentos dan lainnya; akan segera dimanfaatkan oleh mikroba aerobik (mikroba yang hidupnya memerlukan oksigen); mikroba anaerobic (mikroba yang hidupnya tidak memerlukan oksigen) dan mikroba fakultatif (mikroba yang dapat hidup pada perairan aerobic dan anaerobic).
Fenomena pemanfaatan limbah organic (COHNS) oleh mikroba tersebut bisa disebut dengan istilah dekomposisi. Proses dekomposisi di badan air yang mengandung oksigen terlarut ( aerob biasanya digambarkan dengan reaksi:
·         COHNS + O2 + bacteria aerobic       CO2 + NH3 + enerji + produk lain….. (1)
·         COHNS + O2 + bacteria aerobic +       enerji  C5H7O2N (sel bacteria baru)..(2)
Sedangkan di badan air yang tidak mengandung oksigen terlarut (anaerob) yang umumnya di dasar perairan digambarkan dengan reaksi:
·         COHNS + bacteria anaerobic       CO2 + NH3 + enerji + produk lain……... (3)
·         COHNS + bacteria anaerobic     + enerji  C5H7O2N (sel bakteria baru)…...(4)
Reaksi (1) dan (2) dengan jelas mengisaratkan bahwa makin banyak limbah organic yang masuk dan tinggal pada lapisan aerobic ini akan makin besar pula oksigen bagi mikroba  yang mendekomposisi, bahkan jika keprluan oksigen bagi mikroba yang ada melebihi konsentrasi yang terlarut maka sudah pasti oksigen terlarut bias menjadi nol dan bakteri aerobpun akan musnah dan digantikan oleh bakteri anaerob dan fakultatif yang untuk aktifitas hidupnya tidak memerlukan oksigen. 
Selanjutnya reaksi (3) dan (4) dengan jelas mengisaratkan bahwa makin banyak bahan organic dilapisan anaerob akan makin banyak menghasilkan senyawa-senyawa CO2, NH3, H2S, dan CH4..  keberadaan senyawa NH3 dan H2S di perairan pada konsentrasi tertentu bersifat racun bagi organisme perairan, termasuk udang. Fenomena kekurangan oksigen dan timbulnya gas-gas beracun hasil dekomposisi limbah organic dan sisa pakan inilah yang selama ini diduga menjadi penyebab kamatian udang. Untuk melengkapi uraian tersebut diatas maka berikut ini  (tabel 5) disajikan beberapa data mengenai batas toleransi udang terhadap gas-gas beracun tersebut diatas.
        Keadaan perairan, khususnya dasar tambak yang langka oksigen tetapi justru ada sulmpfida, amoniak,   dan nitrit yang beracun serta mikroba pathogen sudah tentu menjadikan udang yang dikenal sebagai hewan yang suka menempel didasar tambak, akan dengan cepart menemui kematiannya. Sebenarnya sebagai krustasea yang memerlukan oksigen lebih tinggi dari hewan lain, kelangkaan oksigen didasar tambak sudah cukup untuk membuat udang menderita dan mati, apalagi dengan keberadaan bahan beracun seperti hirogen sulfide, amoniak dan nitrit serta serangan mikriba pathogen.



Tabel.5. Batas toleransi benur dan udang terhadap konsentrasi gas-gas hasil dekomposisi organik (ppm)
No
Gas
Benur
Udang
1
O2
3,6
2,0
2
NH3
0,60
2,0
3
H2S
-
0,001
4
NO2
-
70
                Sumber : Murtidjo dalam Garno, 2004.

3.3.2. Penyakit
Selain karena penurunan oksigen  terlarut dan senyawa beracun seperti tersebut diatas, kematian udang di tambak didiga dipercepat oleh serangan beruntun berbagai penyakit yang justru muncul bersama-sama atau bertepatan dengan terjadinya deplesi oksigen dan timbulnya gas beracun yang sudah mengancam keberlanjutan hidupnya. Fenomena tersebut diduga terjadi karena kualitas air yang memburuk akibat keberadaan limbah organic justru menjadi media hidup yang baik bagi kehidupan mikroorganisme, termasuk yang fatogen baik dari jenis virus, mikroba, protozoa maupaun jamur. Dalam kondisi kualitas air yang buruk bagi udang tapi cocok untuk kehidupan mereka itulah mikroorganisme yang fatogen berkembang pesat dan bergantian menyerang udang, yang sedang lemah karena menghadapi deplesi oksigen dan senyawa beracun di dasar tambak. Kenyataan tersebut menjadikan penderitaan udang makin sempurna dan mudah menemui kematiannya. Beberapa pakar mengungkapkan bahwa serangan bacteria dan virus terhadap udang bersifat Primary infection, yang akan menjadi kronik jika lingkungan air memburuk  pada saat itulah mikroorganisme lain seperti jamur Fusarium sp. Dan parasit Lagenophrys sp menyerang. 
  
3.3.3. Pencemaran Limbah Organik di Perairan Pantai
Meskipun tidak dalam waktu yang singkat; jika tidak diangkut dan dipindahkan secara fisik sebagian besar limbah organik tambak  udang intensif dapat dipastikan akan masuk dan mencemari perairan pantai. Hal ini terjadi karena selama masa pemeliharaan udang  air tambak bagian bawah yang berisi sisa pakan  dan senyawa beracun hasil dekomposisi (sekitar 10% total air tambak) setiap harinya dibuang ke pantai; sedangkan lumpur empuk/padat diangkat ke pematang.
                            Tabel 6. Beban pencemaran limbah organik (per ha) pada
                                           budidaya udang di tambak kedap air
No
Item
Persen(%)
Kuantitas (kg)
1
Input
Pakan (kering)
Kadar air
Kadar N
Kadaar P

100,0
5,0
5,5
1,2

20.000,0
1.000,0
1.100,0
240,0
2
Output
Udang basahB)
Berat kering
Kadar N
Kadar P

100,0
25,0C
11,2D
4,1D

10.000,0
2.500,0
280,0
102,5
3
Limbah metabolic
OrganikE)
Kadar NF)
Kadar PG)


17.500,0
820,0
138,0
                        Ket:  A) Bervariasi 0,8-2,2%, B) RKP=2,00, C) dari berat basah,
                                 D) dari berat kering, E) input-output BK, F) N = pakan – N ikan
                                 G) P pakan – P ikan
                               
Pada saat hujan lumpur padat di pematang terlarut dan kembali ke tambak dibawa air hujan yang akhirnya mengalir pesisir/laut pula . Uraian mengisyaratkan bahwa budidaya udang intensif di tambak merupakan sumber pencemaran organik potensial bagi perairan pesisir/laut.   Sebagai ilustrasi, berikut disajikan perhitungan besaran limbah organic pada bududaya udang intensif dengan padat penebaran 25 ekor/m2 atau 250.000 ekor/ha; yang dengan perkiraan mortalitas (kematian) sekitar 40 % dan ratio konversi pakan 2.0 menghasilkan udang 5 ton/masa tanam atau 10 ton/masa/ha/tahun. Hasil perhitungan dengan metode Schmittou yang disajikan pada tabel 3 denga produksi  5 ton/hectare/masa tanam atau 10 ton/ha/th, akan menghasilkan limbah organik sebesar 17.5 ton/ha/th dengan kandungan nitrogen 820 kgN.ha-1. Th-1 dan fosfor   138  kgP.ha-1. Th-1. Dengan potensi limbah organik sebesar itu maka dapat diperkirakan betapa besar sumbangan limbah organik dari budidaya tambak intensif ke pesisir/laut (Garno, 2004)

Selain biomassa  yang tinggi sepanjang tahun, dampak lain yang bisa menyertai eutrifokasi perairan pesisir adalah kemungkinan terjadinya pergantian dominasi plankton dari yang tidak beracun seperti Skeletoinema sp dan noctiluca sp ke jenis  yang beracun seperti Protoperinidium spp, Pyrodinium sp dan Gymnodinium spp. Jika fenomena ini terjadi maka dampaknya bukan hanya pada fauna pesisir yang mati dan tidak bernilai ekonomi lagi karena tidak bisa dimakan manusia dan hewan lain; namun juga kegiatan lain seperti wisata  renang harus dihentikan. Akhirnya perlu dipahami bahwa limbah organik dari dasar tambak yang setiap hari masuk ke pesisir, dapat menjadikan pesisir sebagai media penular penyakit udang yang sangat baik; karena air yang keluar dari tambak yang membawa vector penyakit, sesampainya di pesisir segera dimasukan ke tambak lain. Hal ini pula, yang mungkin menyebabkan mengapa penyakit udang dengan mudahnya menular dari satu tambak ke tambak yang lain dan sekali suatu jenis penyakit berjangkit di suatu wilayah tidak akan hilang dari peredaran, serta muncul pada periode pembudidayaan berikutnya.



 3.3.4. Strategi Pengendalian

Keberadaan limbah organik  yang langsung (menyebabkan deplesi oksigen, menimbulkan gas-gas beracun) dan tidak langsung (media mikroorganisme pathogen) menjadi penyebab kematian udang tersebut menunjukkan adanya kesalahan  dalam manajemen budidaya, terutama kesalahan dalam penanganan limbah organic yang tetap berada di badan air tambak. Oleh karena itu maka satu-satunya jalan untuk mencegah dan menghindari terjadinya kematian massal  udang dalam tambak adalah dengan menerapkan berbagai teknologi yang langsung atau tidak langsung dapat mengurangi  atau mencegah organik tetap berada dalam  badan air tambak.
Pencegahan keberadaan organik dalam tambak dengan hanya membuang limbahnya ke pesisir/laut seperti yang dilakukan pada  budidaya udang dengan tambak kedap air jelas tidak menyelasaikan masalah, karena di perairan pesisir /laut limbah tersebut dapat menimbulkan masalah lain yang lebih serius, seperti yutrofikasi. Oleh karena itu maka untuk dapat  mengembangkan budidaya udang intensif secara berkelanjutan dengan tidak mencemari lingkungan perlu diterapkan teknologi-teknologi yang dapat mengurangi keberadaan linbah organik di tambak dengan tanpa membuang/memindahkan ke perairan /pesisir laut (Garno, 2004).
Beberapa teknologi yang dimaksud adalah teknologi :
1.    Teknologi pengelolaan/pengolahan limbah organik (tambak udang intesif).
2.    Teknologi “pemanenan nutrient” bukan “pengusiran nutrien” dari dalam badan air tambak udang maupun tambak Tandon.
3.    Teknologi pembuatan pakan yang effesien (proses dan gizi); dan teknologi pemberian pakan yang effektif; serta kombinasinya sehingga mendapatkan ratio konversi pakan kecil.
4.    Teknologi budidaya udang intensif system semi tertutup dan system tertutup, yang tidak mengambil dan membuangan air kecuali pengganti air yang menguap.
5.    Dan terknologi lingkungan lainnya yang berhubungan erat dengan teknologi pemindahan limbah organik dari tambak. 

 




BAB. IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. KESIMPULAN
Dari hasil pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.    Ekspor komoditi perikanan bertumpu pada dua jenis komodoti utama, yaitu udang dan kelompok ikan laut seperti tuna, cakalang dan tongkol. Komoditi udang sangat berperan dalam peningkatan ekspor sub-sektor perikanan, karena mempunyai kontribusi 60% dari total nilai ekspor sub-sektor perikanan dengan nilai ekspor diatas satu milyar dolar Amerika setahun. Ekspor udang Indonesia sampai saat ini masih sangat mengandalkan pada pasar Jepang dengan nilai ekspor US$ 635.174.000 dan kontribusinya sebesar 62,9% dari total ekspor udang Indonesia di tahun 1998. Walaupun Jepang merupakan pasar utama udang dunia, tetapi pasar Eropa, Asia dan Amerika Serikat yang masih terus tumbuh merupakan pasar yang menarik dan dapat dikembangkan dalam jangka panjang. Ekspor Udang Indonesia merupakan 12,1% dari total ekspor udang dunia dengan permintaan pasar dunia senilai US$ 11 milyar setahun.
2.    Luas lahan yang dijadikan demfarm saat ini mencapai 1.000 hektare (ha) yang tersebar di Kabupaten Indramayu, Cirebon, Karawang, dan Subang Jawa Barat serta Serang dan Tanggerang, Banten. Pada tahun 2013, ditargetkan akan ada 2.000 hektare tambak demfarm. "Rencananya perluasan ini akan kita kembangkan di Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Lampung, dan Sumatera Utara," katanya. Dia berharap demfarm seluas 1.000 ha itu dapat berkontribusi terhadap produksi udang nasional sebesar 45.000 ton/tahun atau senilai Rp2,25 triliun. Pada tahun 2014, pihaknya berupaya mengoptimalkan luas areal tambak lebih dari 20.000 ha di Pantura Jawa Barat dan Banten dengan target produksi sebanyak 200.000 ton/tahun.
3.    pakan yang berlebihan itulah yang menjadi awal kendala bagi keberlanjutan produksi udangnnya, karena dari kelebihan pakan (bahan organik) itulah penurunan kualitas air terjadi sehingga badan air menjadi  kurang mendukung kehidupan udang, tetapi justru kondusif bagi kehidupan mikro organisme, termasuk penyakit udang. Pencegahan keberadaan organic dalam tambak dengan hanya membuang limbahnya ke pesisir/laut seperti yang dilakukan pada  budidaya udang dengan tambak kedap air jelas tidak menyelasaikan masalah, karena di perairan pesisir /laut limbah tersebut dapat menimbulkan masalah lain yang lebih serius, seperti yutrofikasi. Oleh karena itu maka untuk dapat  mengembangkan budidaya udang intensif secara berkelanjutan dengan tidak mencemari lingkungan perlu diterapkan teknologi-teknologi yang dapat mengurangi keberadaan limbah organik di tambak dengan tanpa membuang/memindahkan ke perairan /pesisir laut.

2. Saran

Terjadinya over fishing di wilayah pengelolaan perikanan membuat sehingga kita perlu berbenah dengan membuat atau menciptakan teknologi yang dapat digunakan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan, Perekayasaan teknologi budidaya sudah saatnya tidak hanya mempertimbangkan parameter bagaimana meningkatkan produktivitas setinggi-tingginya, namun harus mampu menjamin berjalannya siklus dalam suatu ekosistem sehingga mampu berjalan secara alamiah, pemaksaan terhadap penerapan teknologi yang tidak didasari prinsip ramah lingkungan (pro-enviroment) dan kepedulian  terhadap ekologi (ecologycal awareness) sama saja memusuhi alam, ini patutnya kita lakukan deni menjaga potensi sumberdaya ikan yang berkelanjutan demi pembangunan bangsa terlebih lagi dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat.



DAFTAR PUSTAKA



Anonym. 2013. Udang Crustacea .http://www.ucmp.berkeley.edu/arthropoda/crustacea.htlm. diakses  tanggal 28 Mei 2013.

Anonym, 2004. Sea Cage Culture of Lobster. National Insitute of Ocean Technology (Dept. of Ocean Development, Govt of India) Pallikaranai, Chennai 601 302). http://www. o d u . e d u / m b u t l e r / newsletter/index.html. Tanggal akses 26 Juni 2013.

Batmomolin. Y.A. 2011. Alokasi Sumberdaya Pada Usaha Perikanan Purse Seine di Kecamatan Teluk Ambon. Skripsi, Universitas Pattimura. Ambon.

Dahuri. R., Rais. J., Ginting. S. P. dan Sitepu. M. J. 2008. Pengelolaan  Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu.

Ditjen Perikanann Budidaya, 2011, Udang- udang potensial budidaya. Kementerian Kelautan Perikanan. Jakarta.

Garno. , Y. S.  2004. Pengembangan budidaya udang dan porensi pencemarannya pada perairan pesisir. Pusat pengkajian dan penerapan teknologi lingkungan,  badan pengkajian dan penerapan teknologi (P3TL, BPPT).

(http://www.bisnis.com). Ekspor Udang; Target Volume Naik Jadi 300.000 Ton. Diakses tanggal 01 Juni 2013. 

(http://www.kkp.go.id). Ekspor Udang Ditargetkan Naik 200 persen. Diakses tanggal 01 Juni 2013.


Investor Daily, 2013. Indonesia Siap Rebut Pasar Udang Internasional. http//www. pasar udang.html.

Kabar bisnis.com, 2010. Ekspor  Udang Indonesia. http//www. Ekspor udang Indonesia.html. diakses 5 Juni 2013

Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2012. Sinergitas Menuju Industrialisasi Udang Yang Berkelanjutan. http//www. Dirjen perikanan budidaya, htlm. Diakses 9 Juni 2013.

Nontji. 2002. Laut Nusantara. Jakarta : Djambatan.
Pratiwi. R.  2008. ASPEK BIOLOGI UDANG EKONOMIS PENTING. Oseana, Volume XXXIII, Nomor 2, Tahun 2008 : 15–24 Bidang Sumberdaya Laut, Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Jakarta. www.oseanografi.lipi.go.id diakses 9 Juni 2013.

Susanto. H. 2012. Industri dan Eksport Udang Indonesia. Di akses lewat http/www. industri-dan-ekspor-udang-indonesia.html. Tanggal 9 Juni 2013.

Theyser. W. 2013. Fish Information (INDONESIA)  List Species-Species Fish in Indonesia Sea and Asian. http//www. berbagai-jenis-udang-di-perairan-asean.html. Diakses tanggal 03 Juni 2013.   

            Soetyarno. 2001. Budidaya Udang. Semarang: Aneka Ilmu
Wiryawan. R. 2011.  Sumberdaya Alam Hayati : Udang Laut Dalam di Indonesia. http//www. sumber-daya-alam-hayati-udang-laut.html. Diakses  tanggal 28 Mei 2013.


 










Tidak ada komentar:

Posting Komentar