PENGELOLAAN SUMBERDAYA
HAYATI PESISIR DAN LAUTAN
“Optimalisasi
Pemanfaatan Sumberdaya Udang Bagi Kepentingan Pembangunan”
TUGAS
Oleh
YOHANES. A. BATMOMOLIN
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2013
KATA PENGANTAR
Puji dan
syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan
Yang Maha Esa atas segala berkat dan anugerah-Nya serta kemampuan yang diberikan
sehingga Tugas ini dapat terselesaikan.
Penulisan
Tugas dengan judul,. “Valuasi
Ekonomi Serta Sikap dan Perilaku Masyarakat Dalam Pengelolaan Ekosistem Terumbu
Karang di Zona Pemanfaatan Langsung Pulau Matakus Kabupaten Maluku Tenggara
Barat” disusun
dengan maksud untuk memperoleh Nilai pada Matakuliah Metode Riset.
Penulis
menyadari bahwa proposal ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu saran dan
kritik yang sifatnya membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan guna
perbaikan dan penyempurnaan penulisan ini. Akhir kata semoga proposal ini dapat
bermanfaat bagi semua orang yang membutuhkan.
Ambon, Juni 2013
Penulis
DAFTAR
ISI
Halaman
LEMBARAN JUDUL ................................................................................. i
KATA PENGANTAR ................................................................................ ii
DAFTAR ISI ............................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. iv
DAFTAR TABEL ....................................................................................... v
BAB
I. PENDAHULUAN ........................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ........................................................................ 1
1.2. Perumusan Masalah ................................................................ 4
1.1. Tujuan .................................................................................... 1
1.2. Manfaat .................................................................................. 4
1.1. Metode.................................................................................... 4
BAB II. TINJAUAN
PUSTAKA ............................................................... 5
2.1. Ekologi Wilayah Pesisir........................................................... 5
2.2. Alokasi
Sumberdaya Perikanan............................................... 6
2.3. Usaha
Perikanan... .................................................................. 7
2.4. Crustacea ................................................................................ 7
2.5. Deskripsi Udang ..................................................................... 8
2.6. Taksonomi Udang ................................................................. 9
2.7. Morfologi Udang..................................................................... 10
2.8. Daur Hidup Udang.................................................................. 12
2.9. Habitat dan
Penyebaran Udang................................................ 12
2.10.Tingkah Laku Udang ............................................................. 13
2.11. Hasil Identifikasi Organ......................................................... 14
2.12. Pembahasan
Hasil Identifikasi Organ ................................... 14
2.13. Biologi Udang Ekonomi Penting (niaga) ............................... 16
BAB III. PEMBAHASAN
......................................................................... 12
3.1. Potensi Perikanan Udang di
Indonesia..................................... 24
3.2. Pemanfaatan Udang di Indonesia ........................................... 39
3.3. Kendala Dalam pembudidayaan Udang................................... 39
BAB IV. Kesimpulan
................................................................................. 46
DAFTAR
PUSTAKA .................................................................................. 47
Lampiran
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar
1. Morfologi Udang Penaeus ................................................................. 10
Gambar
2.Morfologi Udang Panulirus spp....................................................... 17
Gambar
3. Alat Kelamin Jantan dan Betina...................................................... 19
Gambar
4. Siklus
hidup udang suku Penaeidae
............................................... 20
Gambar
5. Siklus
hidup lobster (Panulirus spp) .............................................. 20
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel
1. Jumlah Ekspor Hasil Perikanan Indonesia ........................................... 25
Tabel 2. Target Ekspor Hasil Perikanan
Berdasarkan Komoditas Utama........... 27
Tabel 3.
Kebutuhan Impor Udang Jepang, Amerika Serikat, dan
Uni Eropa..... .. 28
Tabel 4.
Kontribusi Ekspor Udang Indonesia .................................................... 29
Tabel 5.
Batas
Toleransi Benur dan Udang ...................................................... 42
Tabel 6.
Beban Pencemaran
Limbah Organik (per ha) .................................... 43
BAB.
I. PE NDAHULUAN
1.1.Latar
Belakang
Potensi
perikanan di Indonesia sangat berlimpah, namun sampai saat ini belum
dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan rakyat, karena hasil perikanan
laut tersebut terkuras oleh “ilegal fishing” yang nyaris sama dengan hutan yang
gundul oleh “ilegal logging”. Untuk itu informasi perikanan sangat diperlukan
demi penyelamatan potensi perikanan agar tetap lestari. Hasil perikanan (ikan,
udang, kepiting, cumi-cumi dan lainnya) sebagai sumber makanan protein hewani
tidak akan pernah aman terlepas dari konsumsi perikanan dunia (Pratiwi. 2008).
Indonesia
yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia (81.000 km) setelah Kanada
dan kekayaan alam laut yang besar dan beranekaragam telah menjadikan Indonesia
sebagai salah satu negara yang berpotensi besar dalam bidang perikanan (SUBANI
& BARUS, 2007 dalam Pratiwi, 2008). Namun, seiring dengan pertumbuhan
populasi penduduk dunia, konsumsi hasil perikananpun semakin meningkat dari
tahun ke tahun, tetapi seperti halnya kondisi perikanan dunia, kondisi
perikanan tangkap Indonesia juga semakin menurun dari tahun ke tahun, sehingga
hal ini mendorong upaya peningkatan aktivitas di bidang budidaya.
Indonesia
merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang menyimpan kekayaan
sumberdaya alam laut yang besar pula. Salah satunya adalah sumberdaya udang
yang belum dieksplorasi secara optimal. Indonesia sebagai negara kepulauan,
kedalaman lautnya relatif dangkal, sehingga merupakan habitat yang baik bagi
kehidupan udang. Udang dikenal sebagai komoditi penting dari sektor perikanan,
karena mempunyai nilai gizi yang tinggi. Umumnya udang diekspor dalam bentuk
beku dan sebagai komoditi ekspor menduduki tempat tertinggi, sehingga dapat
dijadikan sebagai sumber devisa dan protein penunjang konsumsi baik di dalam
maupun di luar negeri.
Sebagai
Negara Kepulauan, Indonesia memiliki laut yang luasnya 2/3 dari luas
daratannya. Letaknya yang strategis, yaitu berada diantara Benua Asia dan Benua
Australia serta Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, menjadikan Indonesia
sebagai jalur perdagangan dan pelayaran karena memiliki sumberdaya alam yang
berlimpah. Salah satu potensi sumber daya laut Indonesia yang belimpah adalah
udang. Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP), 2012. Indonesia masih menempatkan udang sebagai
komoditas unggulan perikanan budidaya selama 2010-2014. Hal ini dikarenakan
permintaan ekspor udang cukup tinggi sehingga menjadikannya sebagai komoditas penting
(Investor Daily, 2013). Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi KKP Soen’an
H. Poernomo mengatakan bahwa komoditas ini diproyeksikan mengalami peningkatan
produksi tiap tahun sebesar 13 % untuk udang windu dan 16 % untuk udang
vanname. Dari data Food and Agricultural Organization (FAO) di tahun
2010 juga menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat 4 dunia dengan total
ekspor udang vanname sebesar 140.000 ton pada tahun 2007. Sedangkan pada tahun
2008 peringkat Indonesia naik menjadi 3 dunia di bawah China dan Thailand.
Total ekspor Indonesia mencapai 168.000 ton atau naik sebesar 21% (Kabar bisnis.com,
2010).
Namun
produksi komoditas ini tidak selalu mengalami kenaikan. Menurut Kementrian
Kelautan dan Perikanan (KKP), data ekspor udang sepanjang bulan Januari-Agustus
2010 mengalami penurunan dibandingkan periode yang sama di tahun 2009. Pada
periode tersebut ekspor udang mencapai 94.867 ton, dimana volume ini turun
sebesar 5,76% dibandingkan periode yang sama di tahun 2009 sebanyak 100.668 ton.
Ir. Saut P. Hutagalung M.Sc. yang menjabat sebagai Direktur Pemasaran Luar
Negeri Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengatakan, bahwa turunnya
volume ekspor pada periode tersebut dikarenakan naiknya konsumsi udang di dalam
negeri. Menurut data Shrimp Club Indonesia (SCI), permintaan udang dalam negeri
di tahun 2009 hanya naik 5% dan tahun 2010 naik hingga 10% dari total produksi
nasional. Saut juga mengatakan bahwa naiknya konsumsi dalam negeri ini
diindikasikan dengan harga jual udang dalam negeri yang lebih tinggi dibanding
harga jual udang di negara eksportir lain. Misalnya harga udang vanname ukuran
70 (70 ekor per kg) di dalam negeri saat ini Rp 44.000/kg. Di Thailand untuk
jenis dan ukuran yang sama harganya hanya Rp 40.000/kg. Perlu diketahui, 80%
ekspor udang Indonesia berupa udang vanname ukuran 50, ukuran 60, dan ukuran
70. Sisanya adalah udang windu sebesar 15% dan udang laut sebesar 5% (Mahesa,
2010 dalam Investor daily, 2013).
Berbagai cara untuk
meningkatkan kembali produksi nasional diusahakan namun karena tidak fokus dan kurang serius makanya hasilnya belum
nyata. Usaha lebih serius dan terarah mulai nampak sejak pemerintah mendirikan
departemen perikanan dan kelautan (DKP). Dengan berdirinya DKP maka bududaya
perikanan ditangani oleh lembaga setingkat direktorat jenderal, yang lebih
tinggi di masa sebelumnya. Dengan peningkatan status dibarengi dengan
peningkatan anggaran yang jika dikelola dengan benar akan dapat meningkatkan
sumberdaya pengembangannya. Meningkatkan produksi nasional melaui peningkatan
produksi penangkapan adalah satu hal yang muskil dan tidak effisien serta
mengancam keberkanjutan. Hal tersebut disebabkan karena hampir disemua wilayah
pengelolaan perikanan (WPP) udang telah mengalami tangkap lebih. Oleh karena itulah maka satu-satunya jalan untuk meningkatkan
produksi udang nasional adalah melalui budidaya meskipun sampai saat ini
teknologinya masih banyak menghadapi kendala sehingga sering mengalami kegagalan
sehingga produktivitasnya rendah.
(Garno, 2004).
1.2.Permasalahan
Berdasarkan
latar belakang diatas maka dapat merumuskan masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimana
potensi sumberdaya perikanan udang di Indonesia dan di wilayah mana saja yang telah dimanfaatkan ?
2.
Bagaimana
prinsip pengelolaan sumberdaya perikanan udang yang optimal mulai dari proses
perencanaan, pemanfaatan dan Pengolahan di Indonesia bagi kesejahteraan masyarakat ?
3.
Kendalal-kendala
apa saja yang dihadapi dalam pengelolaannya dan bagaimana cara Pengendaliannya
?
1.3.
Tujuan
Adapun
tujuan dalam penulisan ini yaitu :
1.
Mengetahui
potensi sumberdaya perikanan udang di Indonesia dan di wilayah mana saja yang telah dimanfaatkan.
2.
Mengetahui
prinsip pengelolaan sumberdaya perikanan udang yang optimal mulai dari proses
perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian di Indonesia bagi kesejahteraan
masyarakat.
3.
Mengetahui
Kendala-kendala apa saja yang dihadapi dalam pengelolaannya dan cara
Pengendaliannya.
1.4.Manfaat
Adapun
manfaat dalam penulisan ini :
1.
Bahan
informasi yang aktual bagi para pengusaha udang di Indonesia.
2.
Bahan
informasi dan pengembangan ilmu di dalam bidang Pengelolaan sumberdaya
hayati pesisir dan laut.
1.5.Metode
Tulisan ini
merupakan hasil studi literatur yang dikumpulkan dari buku referensi, artikel
dalam jurnal, dan buku pedoman yang kemudian ditampilkan dalam bentuk tabel dan
uraian.
BAB. II. TINJAUAN
PUSTAKA
2.1. Ekologi Wilayah Pesisir
Wilayah pesisir yang dimaksud di Indonesia adalah daerah
pertemuan antara darat dan laut. Kearah darat wilayah pesisir
meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi
sifat-sifat laut seperti pasang, angin laut, dan perembesan air asin, sedangkan ke arah
laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh
proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar,
maupun yang disebabkan oleh kegiata manusia di darat seperti penggundulan hutan
dan pencemaran (Soegiarto dalam Wibisono, 2005).
Pada kawasan pesisir terdapat zona pantai yang merupakan
daerah terkecil dari semua daerah yang terdapat di samudera
dunia, berupa pinggiran yang sempit. Wilayah ini disebut zona intertidal yang
mempunyai kisaran geografis seperti pantaiberbatu,pantai berpasir dan pantai
berlumpur (Nybakken, 1992). Dalam wilayah pesisir terdapat satu atau lebih ekosistem
dan sumberdaya. Ekosistem pesisir dapat bersifat alami dan buatan manusia antara lain
berupa tambak, kawasan wisata, industri atau pemukiman (Dahuri et al.,
2004).
a.
Pantai Berbatu
Zona pesisir yang tersusun dari bahan keras, mangandung
keragaman floradan fauna serta organisme monoseluler lainnya. Zona ini bersifat
khas dankekhasannya bergantung pada geografis. Fenomena pesisir dan bentuk
terjadinyazona ini dapat menjadi refleksi toleransi organisme terhadap
peningkatan keterbukaankomponen abiotik seperti udara terbuka, suhu yang
ekstrim dan kekeringan. Selain itu terdapat faktor biologis yang dominan
diantaranya persaingan dan pemangsa.
b.
Pantai Berpasir
Zona ini bukan zona habitat tetapi tidak terpisahkan dari
keseluruhan zonapesisir. Pantai pesisir intertidal terdapat di seluruh zona
pesisir seluruh dunia.
c.
Pantai Berlumpur
Pantai berlumpur terdapat pada zona pesisir yang
terlindung dari aktifitas gelombang
laut. Pantai berlumpur adalah habitat bagi makrofauna yang secara dominan
terdiri dari mollusca dan crustaceae diantaranya adalah udang. Daerah ini sangat
subur bagi tumbuhan pantai seperti bakau (mangrove). Guguran daun dan ranting
sebagai bahan organik mempersubur perairan pantai sehingga banyak dihunihewan
antara lain jenis ikan dan udang. Habitat ini rentan terhadap pencemaran yangdilakukan
oleh aktifitas manusia di daratan yang membuang limbah ke sungai diteruskan
ke pantai dan secara signifikan mencemari perairan laut dan kawasan pesisir.
2.2. Alokasi Sumberdaya Perikanan
Alokasi
sumber daya secara efisien akan memberikan kombinasi output maksimal yang dapat dihasilkan oleh
perekonomian dengan sumberdaya dan tingkat teknologi tertentu. Definisi
efisiensi yang sama dengan definisi ekonomi neoklasik, di mana persoalan
efisiensi diwujudkan sebagai masalah optimasi. Pada perilaku konsumen tunggal,
efisiensi dicapai dengan mengalokasikan anggaran tertentu pada kombinasi barang
dan jasa yang memaksimumkan kegunaan konsumen. Pada kasus produsen tunggal,
optimasi bisa dicapai melalui dua jalur: penggunaan kombinasi input yang
memaksimasi laba, atau; penggunaan input yang meminimumkan biaya untuk mencapai
tingkat produksi tertentu.
Optimalisasi
pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap dimaksudkan untuk menentukan alokasi
alat tangkap dan penggunaan sumberdaya yang tersedia bagi usaha perikanan guna
pencapaian target kesejahteraan masyarakat dan kelestarian sumberdaya
perikanan. Nilai yang diperoleh merupakan solusi optimal basis pengembangan
perikanan tangkap untuk diterapkan saat ini. Solusi optimal terdiri atas nilai
alokasi alat tangkap, target yang dicapai dan penggunaan sumberdaya yang
optimal. Alokasi alat tangkap optimal selanjutnya dibandingkan dengan alokasi
alat tangkap saat ini (aktual) guna menentukan apakah diperlukan penambahan
atau pengurangan jumlah alat tangkap yang dioperasikan. Pengalokasian sejumlah
alat tangkap guna mencapai tujuan yang diinginkan namun pada dasarnya selalu
dihadapkan pada keterbatasan (kendala) sumberdaya yang tersedia (Alimudin, 2003
dalam Batmomolin, 2011).
2.3.
Usaha Perikanan
Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari
praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan
dalam suatu sistem bisnis perikanan (Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004).
Jenis
usaha perikanan dapat dibedakan menjadi perikanan tangkap, pengolahan perikanan
, dan perikanan budidaya.
1.
Perikanan
Tangkap
Perikanan Tangkap adalah kegiatan memproduksi ikan dengan menangkap (capture) di perairan di darat (inland capture atau inland fisheries),
seperti sungai, muara sungai, danau, waduk, rawa serta peraiaran laut (marine capture atau marine fisheries),
seperti perairan pantai atau lepas.
2. Pengolahan Perikanan
Pengolahan
perikanan bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah produk-produk perikanan
tangkap maupun akuakultur. Usaha ini juga bertujuan mendekatkan produk
perikanan ke pasar dan diterima oleh produsen secara lebih luas (Effendi dan
Oktariza, 2006).
3.
Perikanan Budidaya adalah kegiatan
untuk memelihara, membesarkan dan atau membiakkan suatu organisme air dan
memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol (Ditjen Perikanan Budidaya,
2003 dalam Batmomolin, 2013).
2.4. Crustacea
Crustacea merupakan kelas dari phyllum Arthropoda, yang mempunyai ciri umum
bagian tubuh luar yang dilindungi oleh karapaks yang tersusun dari calcarious
dan kitin, tubuh simetris bilateral (Suwignyo, 1989
dalam Anonym, 2013).
Crustacea adalah fillum Arthropoda yang sebagian besar hidup di laut
dan bernapas dengan insang. Tubuhnya terbagi dalam kepala (cephalo),
dada (thorax), dan perut (abdomen). Kepala dan dada bergabung
membentuk kepala-dada (chepalothorax). Kepalanya biasanya terdiri dari lima ruas yang tergabung
menjadi satu. Mereka mempunyai dua pasang antena, sepasang mandibel (mandible)
atau rahang dan dua pasang maksila (maxilla). Beberapa diantaranya
digunakan untuk berjalan. Ruas abdomen biasanya sempit dan lebih mudah
bergerak dari padakepala dan dada. Ruas-ruas tersebut mempunyai embelan yang ukurannya sering mengecil
(Nontji, 1993 dalam
Anonym, 2013).
Crustacea mempunyai kulit (cangkang) yang keras disebabkan adanya endapan
kalsium karbonat pada kutikula. Semua atau sebagian ruas tubuh mengandung
apendik yang aslinya biramus. Bernapas dengan insang atau seluruh permukaan
tubuh. Kelenjar antena (kelenjar hijau) atau kelenjar maxilla merupakan
alat ekskresi. Kecuali
jenis-jenis tertentu, crustacea pada umumnya dioecious, pembuahan di dalam.
Sebagian besar mengerami telurnya. Tipe awal larva crustacea pada
dasarnya adalah larva nauplius yang berenang bebas sebagai plankton (Ghufron et
al, 1997 dalam Anonym, 2013).
Ciri khas kepala crustacea dewasa ialah adanya sepasang antena pertama,
sepasang antena kedua, sepasang mandibel, sepasang maxilla pertama dan
sepasang maxilla kedua. Mata majemuk tidak dianggap sebagai apendik
beruas-ruassejati. Pada cladócera maxilla kedua menghilang, sedangkan
pada Ostracoda maxilla kedua hilang sama sekali (Ghufron et al,
1997 dalam Anonym, 2013).
Menurut Suwignyo (1989) dalam Anonym (2013), pembagian lama Crustacea dibagi menjadi :
1.
Entomostraca
Terdiri dariber bagai ordo yang heterogen dan berbeda
satu sama lain seperti perbedaan masing-masing ordo terhadap malacostraka.
2.
Malacostraca : golongan crustacea yang tubuhnya terbagi dengan jelas menjadi
kepala thorax dan abdomen. Hampir tiap ruas tubuh mengandung sepasanga pendik.
Berukuran lebih besar dari pada entomostraca.
2.5. Deskripsi Udang
Dari sekian banyak udang laut (Pennaidae) yang terdapat di
Indonesia, ada 11 jenis yang dikategorikan mempunyai nilai niaga penting.
Umumnya terdiri dari 2 marga yakni Pennaeus dan Metapennaeus.
Mereka tidak hanya terdapat di laut, tetapi juga sampai ke tambak–tambak.
Bahkan sekarang udang banyak dibudidayakan. Udang yang dipelihara di tambak
antara lain udang windu (Pennaeus monodon), udang putih (Pennaeus
merguiensis dan Pennaeus indicus), udang api–api (Metapennaeus
monoceros dan Metapennaeus ensis), udang cendana (Metapennaeus
brevicornis), dan udang krosok (Metapennaeus burkenroadi) (Nontji,
1993 dalam Anonym, 2013).
Udang laut menjalani dua fase kehidupan yaitu fase di tengah laut dan fase
di perairan muara. Fase di tengah laut adalah fase dewasa, kawin, dan bertelur.
Beberapa saat sebelum kawin, udang betina terlebih dahulu berganti kulit.
Setelah mengalami pergantian kulit beberapa kali, kemudian menjadi zoea.
Pada stadium zoea, larva mulai mengambil makanan dari sekitarnya.
Giliranselanjutnya, bentukzoea akan berubah lagi menjadi mysis. Dari
stadium mysis, larva bermetamorphosis menjadi stadium post larva. Anakan
udang yang bersifat planktonik ini kemudian beruaya (migrasi) kepantai,
cenderung keperairan muara sungai (Nontji, 1993 dalam
Anonym, 2013).
Udang terutama jenis laut memiliki aneka warna yang
indah dengan adanya pigmen dalam eksoskeleton. Beberapa jenis dapat
mengadaptasikan diri dengan berubah warna sesuai warna lingkungannya, misalnya
udang yang hidup di antara ganggang laut berwarna kuning kehijauan “olive
yellow” denagn bercak-bercak. Ukuran bervariasi dari beberapa millimeter sampai
lebih dari 50 cm (Suwignyo, 2005).
2.6. Taksonomi Udang
Crustacea adalah hewan akuatik (air) yang terdapat di air
laut dan air tawar. Kata Crustacea berasal dari bahasa latin
yaitu kata Crusta yang berarti cangkang yang keras.
Ilmu yang mempelajari tentang crustacean adalah karsinologi (Demarjati et
al.,1990 dalam Anonymous, 2013). Jumlah udang di perairan seluruh dunia
diperkirakan sebanyak 343 spesiesyang potensial secara komersil. Dari jumlah
itu 110 spesies termasuk di dalam famili Penaidae.
Udang digolongkan ke dalam Filum Arthropoda dan merupakan Filum terbesar
dalam Kingdom Animalia (Fast dan Laster, 1992
dalam Anonymous, 2013) .Menurut
Sterrer (1986) dalam Anonym, (2013)
udang dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom
: Animalia
Filum
: Arthropoda
Kelas
: Crustaceae
Sub Kelas
: Malacostraca
Ordo
: Decapoda
Family
:
Palaemonoidae
Penaeidae
Genus
:
Macrobranchium
Caridina
Penaeus
Metapenaeus
2.7.
Morfologi Udang
Tubuh udang dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian
kepala dan bagian badan. Bagian kepala menyatu dengan bagian
dada disebut cephalothorax yang terdiri dari 13 ruas, yaitu 5 ruas di bagian
kepala dan 8 ruas di bagian dada. Bagian badan dan abdomen terdiri dari 6 ruas,
tiap-tiap ruas (segmen) mempunyai sepasang anggota
badan (kaki renang) yang beruas-ruas pula. Pada ujung ruas keenam terdapat ekor
kipas 4 lembar dan satu telson yang berbentuk runcing (Rizal , 2009),seperti pada
Gambar 1 berikut ini.
Gambar
1. Morfologi Udang Penaeus
spp. Keterangan: 1. Antennula, 2. Rostrum, 3.Carapace, 4. Abdominal segments, 5. Scaphocerite, 6.
Maksiliped ke-7. Antenna, 8. Periopods, 9. Telson, 10 & 11. Eksopod dan
Endopod segmen, 12. Uropod (TAKEDA et al., 2000 dalam Pratiwi, 2004).
Bagian kepala dilindungi oleh cangkang kepala atau
carapace. Bagian depan meruncing dan melengkung membentuk huruf S yang disebut
cucuk kepala atau rostrum. ada bagian atas rostrum terdapat 7 gerigi dan
bagian bawahnya 3 gerigi untuk P. monodon. Bagian kepala lainnya adalah:
a. Sepasang mata majemuk (mata facet)
bertangkai dan dapat digerakkan.
b. Mulut terletak pada bagian bawah kepala
dengan rahang (mandibula) yang kuat.
c. Sepasang sungut besar atau antena.
d. Dua pasang sungut kecil atau antennula.
e. Sepasang sirip kepala (scophocerit).
f. Sepasang alat pembantu rahang
(maxilliped).
g. Lima pasang kaki jalan (periopoda), kaki
jalan pertama, kedua dan ketiga
bercapit yang dinamakan chela.
h. Pada bagian dalam terdapat hepatopankreas,
jantung dan insang.
Bagian badan dan perut (abdomen) tertutup oleh 6 ruas,
yang satu sama lainnya dihubungkan oleh selaput tipis. Ada lima pasang kaki
renang (pleopoda) yang melekat pada ruas pertama sampai dengan ruas kelima,
sedangkan pada ruas keenam, kaki renang mengalami perubahan bentuk menjadi ekor
kipas (uropoda). Di antara ekor kipas terdapat ekor yang meruncing pada bagian
ujungnya yang disebut telson. Organ dalam yang bisa diamati adalah usus
(intestine) yang bermuara pada anus yang terletak pada ujung ruas keenam.
Ciri-ciri morfologi udang menurut Fast dan Laster (1992) dalam Anonym, 2013,
mempunyai tubuh yang bilateral simetris terdiri atas sejumlah ruas yang
dibungkus oleh kintin sebagai eksoskleton. Tiga pasang maksilliped yang
terdapat dibagian dada digunakan untuk makan dan mempunyai lima pasang kaki
jalan sehingga disebut hewan berkaki sepuluh (Decapoda). Tubuh biasanya beruas
dan sistem syarafnya berupa tangga tali. Dilihat dari luar, tubuh udang terdiri
dari dua bagian, yaitu bagian depan dan bagian belakang. Bagian depan disebut
bagian kepala, yang sebenarnya terdiri dari bagian kepala dan dada yang
menyatu. Bagian kepala tertutup kerapak, bagian perut terdiri dari lima ruas
yang masing-masing ruas mempunyai pleopod dan ruas terakhir terdiri dari ruas
perut, dan ruas telson serta uropod (ekor kipas). Tubuh udang mempunyai
rostrum, sepasang mata, sepasang antena, sepasang antenula bagian dalam dan
luar, tiga buah maksilipied, lima pasang cholae (periopod), lima pasang
pleopod, sepasang telson dan uropod.
2.8. Daur Hidup Udang
Daur hidup udang meliputi beberapa tahapan yang membutuhkan
habitat yang berbeda pada setiap tahapan. Udang melakukan pemijahan di perairan
yang relatif dalam. Setelah menetas, larvanya yang bersifat planktonis
terapung-apung dibawa arus, kemudian berenang mencari air dengan salinitas
rendah disekitar pantai atau muara sungai. Di kawasan pantai, larva udang
tersebut berkembang. Menjelang dewasa, udang tersebut beruaya kembali ke
perairan yang lebih dalam dan memiliki tingkat salinitas yang lebih tinggi,
untuk kemudian memijah. Tahapan-tahapan tersebut berulang untuk membentuk
siklus hidup. Udang penaeid dalam pertumbuhan dan perkembangannya mengalami
beberapa fase, yaitu nauplius, zoea, mysis, post larva, juvenile (udang muda),
dan udang dewasa (Fast dan Laster, 1992 dalam Anonym, 2013).
Menurut Rizal (2009), setelah telur-telur menetas, larva
hidup di laut lepas menjadi bagian dari zooplankton. Saat stadium post larva
bergerak ke daerah dekat pantai dan perlahan-lahan turun ke dasar di daerah
estuari dangkal. Perairan dangkal ini memiliki kandungan nutrisi, salinitas dan
suhu yang sangat bervariasi dibandingkan dengan laut lepas. Setelah beberapa
bulan hidup di daerah estuari, udang dewasa kembali ke lingkungan laut dalam
dimana kematangan sel kelamin, perkawinan dan pemijahan terjadi.
2.9. Habitat dan Penyebaran
Udang
Udang hidup disemua jenis habitat perairan dengan 89%
diantaranya hidup diperairan laut, 10% diperairan air tawar dan 1% di perairan
teresterial (Abele, 1982 dalam Anonymous, 2013).Udang laut merupakan tipe yang tidak mampu
atau mempunyai kemampuan terbatas dan mentolerir perubahan salinitas. Kelompok
ini biasanya hidup terbatas pada daerah terjauh pada estuari yang umumnya
mempunyai salinitas 30% atau lebih.Kelompok yang mempunyai kemampuan untuk
mentolerir variasi penurunan salinitas sampai dibawah 30% hidup di daerah terestrial
dan menembus hulu estuari dengan tingkat kejauhan bervariasi sesuai dengan
kemampuan spesies untuk mentolerir penurunan tingkat salinitas. Kelompok
terakhir adalah udang air tawar. Udang darikelompok ini biasanya tidak dapat
mentolerir salinitas diatas 5%. Udang menempatiperairan dengan berbagai tipe
pantai seperti: pantai berpasir, berbatu ataupun berlumpur.
Spesies yang dijumpai pada ketiga tipe pantai ini berbeda-beda sesuai dengan
kemampuan masing-masing spesies menyesuaikan diri dengan kondisi fisik kimia perairan
(Nybakken, 1992 dalam Anonym, 2013).
2.10. Tingkah
Laku Udang
2.10.1. Sifat Nokturnal
Menurut Powers dan Bliss (1983) dalam
Anonym (2013),
udang memiliki mata yang besar dan bersifat seperti lapisan pemantul cahaya,
fakta yang menguatkan dugaan bahwa udang bersifat nokturnal dimana udang lebih
suka muncul pada malam hari. Jika terganggu udang dapat melompat sejauh 20-30
cm menghindar dari gangguan.
2.10.2 Pergantian Kulit
(Molting)
Pada peristiwa pergantian kulit ini, proses biokimia yang
terjadi, yaitupengeluaran (ekskresi) dan penyerapan (absorbsi) kalsium dari
tubuh hewan. Kulitbaru yang terbentuk berwarna pucat dan setelah 2-3 hari
kemudian barulah warnasemula kembali, sebabnya adalah berubahnya kualitas air
ataupun karena makananserta proses pengeluaran zat tertentu di tubuh udang
(Romimohtarto dan Juwana, 2007 dalam Anonym, 2013).
2.10.3 Tingkah Laku Makan
Udang termasuk golongan omnivora ataupun pemakan
segalanya. Beberapasumber pakan udang antara lain udang kecil (rebon),
fitoplankton, copepoda,polichaeta, larva kerang dan lumut. Untuk mendeteksi
sumber pakan, udang berenangmenggunakan kaki jalan yang memiliki capit.Makanan
ditangkap dengan capit kaki jalan (periopod) dan masukkankebagian mulut. Bagian
makan yang kecil ditempatkan langsung disuatu tempat di dalam
mulut sementara bagian makanan yang besar dibawa ke dalam
mulut olehmaxilliped atau alat-alat pembantu rahang (Fast dan Lester, 1992 dalam
Anonym, 2013).
2.11.
Hasil Identifikasi Organ
2.11.1 Klasifikasi Jenis
Udang
Klasifikasi Udang Windu :
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class
:
Crustacea
Sub class :
Malacostraca
Ordo
: Decapoda
Sub ordo
:
Natantia
Family
: Penacidae
Genus
:
Pennaeus
Spesies
: Pennaeusmonodon
2.12. Pembahasan Hasil
Identifikasi Organ
Pada udang putih ini terdapat tiga bagian besar yaitu
kepala dan badan (cephalothorax), perut (abdomen), dan ekor (uropoda).
Bagian chepalotorax ini dibungkus oleh karapas dan terdapat pula rostrum
yang merupakan tonjolan karapas yang bergerigi yang panjang dan
melengkung dengan jumlah gigi pada bagian atas 11-13 buah dan bagian bawah
mempunyai gigi sebanyak 8-14 buah gigi. Pada bagian dada mempunyai 5 pasang
kaki jalan.
Udang
putih jantan alat kelamin jantannya terdiri dari organ internal dan eksternal.
Untuk organ eksternal, yaitu petasma yang terletak pada kaki jalan
kelima yang merupakan modifikasi bagian endopodit pasangan kaki renang
pertama. Sedangkan udang putih betina terdiri juga organ internal juga organ
eksternal yaitu thelicum yang terletak di antara kaki jalan ketiga
(Nontji, 1993 dalam
Anonym, 2013).
Harpiosquilla sp memiliki tubuh ynag menyerupai belalang
sembah dengan karapas menutupi kepala. Harpiosquilla sp memiliki talson
yang berbentuk seperti kipas. Harpiosquilla sp biasanya hidup pada
lubang – lubang atau membenamkan diri dalam pasir berlumpur.
2.12.1 Udang Penaeidae
Berikut penjelesan singkat
tentang udang yang termasuk dalam family Penaeidae yang mana udang berfamily
tersebut telah saya lakukan pembedahan dan identifikasi organ – oragan
tubuhnya, dan berikut penjelasan singkat yang berhasil saya kutip dari bahan
ajar yang pernah dipaparkan oleh salah satu dosen FPIK Universitas Diponegoro,
Semarang.
2.12.2. Morfologi Udang Penaeidae
-
Ada sekitar 11
jenis udang Penaeid di Indonesia yang mempunyai nilai ekonomis penting; umumnya
dari genera Penaeus dan Metapenaeus.
-
Beberapa spesies telah dibudidayakan di
tambak, yaitu: Udang Windu (Penaeus monodon), Udang Putih (Penaeus
merguiensis dan Penaeus indicus), Udang Api-api (Metapenaeus
monoceros dan Metapenaeus ensis), Udang Cendana (Metapenaeus
brevicornis) dan Udang Krosok (Metapenaeus burkenroad).
-
Secara
komersial yang memiliki nilai pasaran yang tinggi adalah P. monodon dan P.
merguiensis.
2.12.3. Siklus Hidup Udang Penaeidae
Ø Udang Penaeid mempunyai dua fase kehidupan, yaitu fase di tengah
laut dan di perairan muara.
Ø Induk P.
monodon mampu menghasilkan telur sebanyak 450.000 butir sekali bertelur, P.
merguiensis 100.000 dan P. semisulcatus 300.000 butir.
Ø Telur menetas menjadi larva yang disebut dengan nauplius
Ø Setelah molting beberapa kali Nauplius akan berubah
menjadi zoea;
Ø Zoea akan mengalami molting beberapa kali dan berubah
menjadi mysis
Ø Mysis akan
bermetamorfosis menjadi Post Larva (PL).
2.12.4
Daerah Penangkapan Udang Penaeidae
·
Daerah
penangkapan udang mempunyai persamaan dengan daerah sebaran hutan mangrove
·
Penangkapan
udang laut di beberapa lokasi telah berjalan dengan sangat intensif sehingga
telah melebihi produksi lestari (MSY), misalnya di beberapa tempat di pantai
utara Jawa, pesisir Kalimantan, Sumatra dan Irian Jaya.
·
Penangkapan
biasanya dilakukan dengan menggunakan jaring arad, yang merupakan modifikasi
dari trawl, yang sebenarnya dilarang oleh pemerintah.
2.13. BIOLOGI UDANG
EKONOMI PENTING (NIAGA)
Secara
morfologi udang-udang ekonomis penting dari suku Penaeidae (Penaeus spp.
dan Metapenaeus spp.) memiliki bentuk tubuh yang sama, yang terdiri dari
2 bagian yaitu, bagian depan dan bagian belakang. Bagian depan disebut bagian
kepala, yang terdiri dari bagian kepala dan dada (cephalothorax). Bagian
belakang, terdiri dari perut (abdomen) dan ekor (telson). Seluruh
anggota badan terdiri dari ruas-ruas (segmen) yang keseluruhannya
berjumlah 19 ruas, bagian cephalothorax terdiri dari kepala 5 ruas dan dada 8
ruas, serta bagian perut 6 ruas (Gambar 1). Keseluruhan tubuhnya ditutupi oleh
kerangka luar yang disebut dengan eksoskleton dan terbuat dari khitin. Kerangka
tersebut mengeras, kecuali pada sambungan-sambungan antar dua ruas. Sedangkan
udang dari suku Palinuridae (Panulirus spp.) dikenal juga dengan sebutan
udang karang atau lobster, berukuran tubuh
lebih besar dan memanjang dengan cangkang yang tebal serta melebar secara dorsoventral (Gambar
2).
Gambar 2. Morfologi Udang Penaeus
spp. Keterangan: 1. Antennula, 2. Rostrum,3.Carapace, 4. Abdominal
segments, 5. Scaphocerite, 6. Maksiliped ke-7. Antenna, 8. Periopods, 9.
Telson, 10 & 11. Eksopod dan Endopod segmen, 12. Uropod (TAKEDA et al.,
2000).
Gambar 2. Morfologi Udang Panulirus
spp. Keterangan: 1. Karapas, 2. Abdomen, 3. Telson, 4. Periopod (Kaki
Jalan), 5. Antenulla, 6. Antena (http://www.odu.edu/mbutler/newsletter/index.html. Tanggal akses 2 Juni 2013)
Berdasarkan klasifikasinya udang dimasukkan ke dalam kelompok-kelompok yang berdasarkan bangsa (yang berukuran besar) Malacostraca, Latreille 1806. Malakos yang berarti lunak (HOLTHUIS 1992). HARDY (1970 dalam ROMIMOHTARTO & JUWANA, 1999) menyusun dan mengelompokkannya sebagai berikut:
Phylum :
Arthropoda
Class :
Crustacea
Sub-class :
Malacostraca
Ordo : Decapoda
Sub-ordo :
Natanti
Super-family : Penaeidea
Family : Penaeidae
Genus : Penaeus, Metapenaeus,Parapenaeus
Species :
Penaeus spp.,Metapenaeus spp.,Parapenaeus spp.
Super-family :
Scyllaridae
Family : Palinuridae
Genus : Panulirus
Species : Panulirus spp.
1.
Reproduksi
Jenis
kelamin jantan dan betina dari udang-udang tersebut, dapat dilihat dari alat kelamin
luarnya dan kaki jalan (periopod). Alat kelamin jantan disebut petasma,
yang terdapat pada kaki renang pertama, sedangkan lubang saluran kelaminnya
(gonophore) terletak diantara pangkal kaki jalan ke tiga. Alat kelamin betina
disebut thelycum, terletak di antara kaki jalan keempat dan kelima.
(BARNES, 1987; Suyanto & Mudjiman, 1999 dalam Anonym, 2013 ) (Gambar 3). Alat
kelamin utama disebut dengan gonad terdapat di dalam bagian
cephalotorax. Pada udang jantan dewasa, gonad akan menjadi testis yang
berfungsi sebagai penghasil mani (sperma). Pada udang betina, gonad akan
menjadi indung telur (ovarium), yang berfungsi menghasilkan telur.
Ovarium yang telah matang akan menghasilkan telur yang banyak. Telur akan
merekat pada ovarium dan terangkai seperti buah anggur yang meluas sampai ekor.
Sperma yang dihasilkan oleh udang jantan, pada waktu kawin akan dikeluarkan
dalam kantung seperti lendir yang dinamakan kantung sperma (spermatophora).
Spermatophora dilekatkan pada thelicum udang betina dan disimpan
terus disana hingga saat peneluran dengan bantuan petasma. Apabila udang betina
bertelur, spermatophora akan pecah dan sel-sel sperma akan membuahi
telur di luar badan induknya (Suyanto & Mudjiman, 1999 dalam Anonym, 2013).
2.
Siklus Hidup
Menurut
TORO & SOEGIARTO (1979) dan KING & KING (1995) di alam, udang dari suku
Penaeidae hidup dalam dua fase yaitu: fase di tengah laut dan fase di perairan
muara sungai sebagai berikut:
a.
Fase di tengah laut (paneluran)
Udang
dewasa hidup dan berbiak di tengah laut (jauh dari pantai). Beberapa saat sebelum
kawin, udang betina berganti kulit terlebih dahulu. Matang telur ditandai
dengan ovari yang memanjang di bagian dorsal, melebar ke kiri dan kanan,
berwarna kehijau-hijauan sampai hijau tua atau coklat tua. Keadaan tersebut
biasanya menandakan udang betina sudah siap bertelur dan spermatophora telah
diterima dari udang jantan.
Gambar 3. Alat Kelamin Udang Jantan (Petasma)
dan Betina (Thelycum) (PAULA, 1998
dalam Pratiwi, 2008).
Induk
udang matang telur akan melepaskan telur-telurnya (berpijah) di laut pada malam
hari. Telur-telur diletakkan di dasar laut dan akan menetas, menjadi larva
(dalam bentuk beberapa tingkatan) dan bersifat planktonik. Tingkatan larva
pertama dan selanjutnya adalah: nauplius
zoea (protozoea) mysis post larva (juvenil). Larva akan terbawa
arus hingga ke daerah mangrove (yang dekat dengan muara sungai) atau ke
daerah-daerah asuhan
.
b.
Fase di perairan muara sungai
“Post
larva” (juvenil) hidup secara merayap atau melekat pada benda-benda di dasar
perairan. Juvenil (anakan udang) banyak sekali dijumpai di pantai-pantai
terutama di
perairan
muara sungai daerah hutan mangrove yang berfungsi sebagai tempat berlindung (asuhan)
dan tempat mencari makan (feeding ground). Anakan udang hidup
menyesuaikan diri pada salinitas yang bervariasi antara 4- 35%0 dengan suhu
yang cukup tinggi dan tumbuh hingga menjadi juvenil muda serta siap bermigrasi
kembali ke laut hingga dewasa untuk melakukan siklus berikutnya (Gambar 4 dan
5). Udang karang (lobster) memiliki siklus hidup yang kompleks. Telur-telur
setelah dibuahi akan terus berkembang hingga terlihat bintik mata dan menetas
menjadi larva phyllosoma dan kemudian menjadi larva “peurulus” (juvenil).
Menurut MOOSA & ASWANDY (1984) dalam Garno, 2004. Lamanya waktu yang
dijalani oleh tiap jenis lobster berbeda-beda di dalam siklus hidupnya. Udang
yang hidup di perairan tropik akan berbeda (lebih singkat) dengan yang hidup di
perairan sub-tropik. Udang betina dewasa yang tidak dibuahi setelah berganti
kulit, maka akan mati dan kegagalan mengeluarkan telur juga akan mengakibatkan
kematian (FIELDER, MOOSA & ASWANDY, 1984 dalam Garno, 2004).
Gambar 4. Siklus hidup udang suku
Penaeidae (KING & KING, 1995 dalam Pratiwi, 2008).
Gambar 5. Siklus hidup lobster (Panulirus
spp.) (ANONIM, 2004).
3.
Habitat
Udang
memiliki habitat yang berbedabeda tergantung dari jenis dan persyaratan hidup
dari tingkatan-tingkatan dalam daur hidupnya. Sebagian besar udang hidup di
laut, yang keberadaannya di perairan dengan bentuk tubuh yang bersegmen-segmen,
sehingga mudah berjalan dan berenang dengan cepat (JOESOEF, 1974 dalam Pratiwi,
2008). Habitat yang disukai udang pada umumnya adalah dasar laut yang
bersubstrat lunak dan biasanya terdiri dari campuran lumpur dan pasir. Pada
umumnya udang bersembunyi di siang hari untuk mengindari predator, banyak di
antaranya hidup dalam lubang di pasir, di terumbu karang yang hidup dan yang
mati atau di bawah batu-batu (TORO & SOEGIARTO, 1979 dalam Pratiwi, 2008).
Udang karang banyak dijumpai di perairan pesisir dengan dasar perairan berupa
pasir berbatu. Udang tersebut (lobster) hidup berkelompok serta bersifat
“nocturnal” (mencari makan pada malam hari) dan pada siang hari mereka
bersembunyi di tempat-tempat yang gelap dan terlindung di dalam lubang-lubang batu
karang (SETYONO, 2006 dalam Pratiwi, 2008). Udang yang masih bersifat bentik, hidup
pada permukaan dasar laut yang bersubstrat lunak (soft) (UNAR dalam TORO
& SOEGIARTO, 1979 dalam Pratiwi, 2008. POERNOMO (1968) dalam Pratiwi (2008)
pada penelitiannya terhadap larva udang bernilai niaga di Indonesia,
mendapatkan bahwa benih stadium “post larva” udang windu (Penaeus monodon)
umumnya terdapat di sepanjang pantai yang landai dengan pasang surut yang berfluktuasi.
Udang ini dapat ditemukan di aliran sungai kecil dan berdasar lumpur pasiran
atau pasir lumpuran yang berbatu-batu kecil (cangkang kerang). Penaeus
merguiensis dan Penaeus indicus, memiliki daya penyesuaian yang
tinggi terhadap semua tipe dasar perairan, tetapi lebih menyukai dasar perairan
lumpur liat berpasir. Penaeus latisulcatus dan Penaeus monodon
menyukai perairan dengan tekstur dasar lumpur berdebu (lumpur dan pasir) (JOESOEF,
1974) dalam (Pratiwi, 2004), oleh karenanya hutan mangrove yang memiliki dasar
perairan berupa lumpur, merupakan habitat yang paling disukai oleh jenis udang,
karena jejaring makanan (food web) yang tidak pernah putus
menjadikannya sebagai tempat (niche) yang sangat baik untuk berlindung,
tempat bertelur dan tempat mencari makan.
4.
Makanan dan Cara Makan Udang
Udang
bersifat pemakan segala (omnivora), detritus dan sisa-sisa organic ainnya
baik hewani maupun nabati. Dalam mencari makan udang mempunyai pergerakan yang
terbatas, tetapi udang selalu didapatkan di alam oleh manusia, karena udang
mempunyai sifat dapat menyesuaikan diri dengan makanan yang tersedia di
lingkungannya dan tidak bersifat memilih (PUTRI, 2005 dalam Pratiwi, 2008).
MORIARTY, TORO & SOEGIARTO, 1979 dalam Pratiwi, 2008. Berdasarkan penelitiannya,
makanan dari beberapa jenis udang Penaeus seperti: P. esculentus,
P. peblejus, P. merguiensis dan Metapenaeus bennettae bersifat
omnivora, memakan apa yang tersedia di alam. Sedangkan P. merguiensis tingkat
mysis memakan larva dari balanus, copepoda, polychaeta, dan pada tingkat post
larva selain jasad-jasad renik, juga memakan phytoplankton dan algae hijau.
Pada tingkat mysis jenis udang P. monodon, cenderung memakan diatom dan
zooplankton. Krustasea pada umumnya adalah binatang yang mencari makan pada
malam hari, sama halnya dengan lobster. Lobster merupakan pemangsa organisme
dasar yang sangat bergantung kepada kondisi fauna dasar. Kerusakan pada dasar
perairan secara langsung akan mempengaruhi kehidupan udang karang (VASSEROT, MOOSA & ASWANDY, 1984 dalam Pratiwi,
2008). Udang lobster akan keluar dari tempat tinggalnya untuk mencari makan.
Jenis yang hidup di perairan dangkal akan menuju terumbu karang atau paparan
terumbu, sedangkan jenis yang hidup agak dalam akan berkeliaran di sekitar
habitatnya. Makanan yang digemari adalah moluska (gastropoda, keong dan kerang)
dan ekhinodermata (bulu babi, bintang laut, teripang dan lili laut). Sedangkan
makanan lainnya adalah ikan (MOOSA & ASWANDY, 1984 dalam Pratiwi, 2008).
BAB. III. PEMBAHASAN
3.1. Potensi Perikanan
Udang di Indonesia
Sub-Sektor Perikanan Indonesia
merupakan sub-sektor yang tetap mengalami pertumbuhan di masa krisis ekonomi
yang dialami Indonesia dalam 3 tahun terakhir ini. Dengan nilai ekspor di atas
US$ 1,6 Milyar setahun dengan pertumbuhan rata-rata 3,1% pertahun, menjadikan
sub-sektor perikanan salah satu subsektor yang membantu perekonomian Indonesia
di masa krisis. Ekspor komoditi perikanan bertumpu pada dua jenis komodoti
utama, yaitu udang dan kelompok ikan laut seperti tuna, cakalang dan tongkol.
Komoditi udang sangat berperan dalam peningkatan ekspor sub-sektor perikanan,
karena mempunyai kontribusi 60% dari total nilai ekspor sub-sektor perikanan
dengan nilai ekspor diatas satu milyar dolar Amerika setahun. Ekspor udang
Indonesia sampai saat ini masih sangat mengandalkan pada pasar Jepang dengan
nilai ekspor US$ 635.174.000 dan kontribusinya sebesar 62,9% dari total ekspor
udang Indonesia di tahun 1998. Walaupun Jepang merupakan pasar utama udang dunia,
tetapi pasar Eropa, Asia dan Amerika Serikat yang masih terus tumbuh merupakan
pasar yang menarik dan dapat dikembangkan dalam jangka panjang. Ekspor Udang
Indonesia merupakan 12,1% dari total ekspor udang dunia dengan permintaan pasar
dunia senilai US$ 11 milyar setahun.(Susanto, 2012).
Perkembangan
produksi udang Indonesia di 3 (tiga) tahun terakhir terus menunjukkan
peningkatan. Prosentase peningkatan produksi tahun 2012 mencapai 32,87%, dari
400.385 ton pada tahun 2011 menjadi 457.600 ton pada tahun 2012. Pada tahun
2014, ditargetkan adanya peningkatan produksi sebesar 200 ribu ton, melalui
optimalisasi luas areal tambak mencapai lebih dari 20 ribu Ha. Adanya
peningkatan produksi ini akan memberikan tambahan devisa negara dari ekspor
udang.
Udang Penaeus yang merupakan niaga
utama terdiri dari Penaeus monodon (udang Windu/ Pacet), Penaeus
merguiensis (udang Jerbung/Putih), Penaeus indicus (udang Kelong/
Poper), Penaeus semisulcatus (udang Bago/Kembang), Penaeus
orientalis (udang Wangkang/Tajam), Penaeus canaliculatus (udang
Lurik), Penaeus latisulcatus (udang Raja) dan Penaeus esculentus (udang
Loreng/Harimau Belang). Udang Metapenaeus ada 6 jenis yaitu:
Metapenaeus monoceros (udang Dogol/Apiapi), Metapenaeus affinis (udang
Pasir), Metapenaeus ensis (udang Berus), Metapenaeus lysianassa (udang
Kuning/ Brintik), Metapenaeus brevicornis (udang Cendana)
dan Metapenaeus dopsoni (udang Kapur). Udang air tawar Macrobrachium
hanya satu jenis yaitu Macrobrachium rosenbergii (udang
Galah) sedangkan udang karang Panulirus ada 6 jenis: Panulirus
versicolor (udang Rejuma), Panulirus polyphagus (udang Jarak),
Panulirus homarus (udang Pantung atau udang Bireng), Panulirus
longicep (udang Bunga), Panulirus ornatus (udang Cemara/ Ketangan)
dan Panulirus penicilatus (udang Batu). Usaha penangkapan
udang-udang tersebut terutama di perairan: Papua, Maluku, Kalimantan,
Sulawesi Selatan, Jawa dan Sumatera (Pratiwi, 2004).
3.1.1.
Potensi Eksport Udang Di Indonesia
Tanpa
mengabaikan upaya pemenuhan kebutuhan domestik, produksi perikanan Indonesia,
terutama untuk komoditas bernilai tinggi, didorong untuk memasok keperluan
ekspor. Total ekspor produk perikanan Indonesia pada tahun 2007-2011 dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah Ekspor Hasil Perikanan
Indonesia Menurut Komoditas Utama Tahun 2007-2011
Komoditas
|
Tahun (ton)
|
||||||
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
2011
|
|||
Udang
|
157.545
|
170.583
|
150.989
|
145.092
|
158,062
|
||
Tuna, Cakalang
|
121.316
|
130.056
|
131.550
|
122.450
|
141,774
|
||
Ikan lainnya
|
393.679
|
424.401
|
430.513
|
622.932
|
618,294
|
||
Kepiting
|
21.510
|
20.713
|
18.673
|
21.537
|
23,089
|
||
Lainnya
|
160.279
|
165.923
|
149.688
|
191.564
|
218,130
|
||
Sumber : KKP (2012)
Tabel 1.
menunjukkan bahwa ekspor produk perikanan Indonesia cenderung mengalami
peningkatan setiap tahunnya. Seluruh komoditas unggulan sektor perikanan
Indonesia antara lain adalah udang, ikan tuna, cakalang, tongkol, rumput laut,
ikan hias, dan lain sebagainya memiliki potensi yang besar untuk diperdagangkan
di pasar dunia dengan tujuan utama adalah Jepang, Amerika, dan Uni Eropa. Pada
Tabel 1 terlihat bahwa udang memiliki volume ekspor terbesar di pasar dunia
bila dibandingkan dengan hasil sumberdaya laut Indonesia lainnya.
Peningkatan
ekspor yang terjadi tidak terlepas dari meningkatnya konsumsi produk perikanan,
karena adanya perubahan pola makan masyarakat dunia dari red meat ke white
meat. Hal ini berarti peluang terhadap peningkatan ekspor komoditas
perikanan semakin besar. Meskipun jumlah ekspor udang Indonesia masih tergolong
fluktuatif dan mengalami penurunan pada tahun 2009 dan 2010, namun udang tetap
menjadi salah satu komoditas andalan ekspor perikanan Indonesia. Fluktuasi
ekspor udang Indonesia tersebut diduga karena adanya persaingan yang cukup
ketat dengan negara eksportir udang lainnya yang diketahui memiliki teknologi,
cara pengolahan, dan strategi pemasaran yang lebih baik (Setiyorini, 2010).
Seiring
dengan perkembangan dan kemajuan ilmu dan tekonologi khususnya di bidang
pangan, udang semakin akrab dengan para konsumen di negara maju sebagai bahan
pangan yang bergizi. Hal ini membuat harga udang di pasar internasional sangat
beragam. Keragaman harga ini bukan saja berkaitan dengan ukuran, warna,
tekstur, cita rasa, dan bentuk penyajian produknya, tetapi juga berkaitan
dengan preferensi konsumen dan negara asal udang tersebut. Udang putih (white
shrimps) yang berasal dari laut tropika di pasaran Amerika Serikat dan
Eropa memiliki harga yang lebih baik jika dibandingkan dengan udang warna lain
diperairan yang sama. Kuruma shrimps (Panaeus japonicus) memiliki harga
yang istimewa di pasar Jepang. Di pasaran Eropa, tiger shrimps memiliki
harga yang tinggi karena ukuran, tekstur daging, dan cita rasanya banyak
digemari oleh para konsumen di pasar yang bersangkutan (Murty, 1991).
Melihat
besarnya potensi udang untuk terus diekspor ke dunia, Direktorat Pemasaran Luar
Negeri, Kementerian Kelautan dan Perikanan menetapkan jumlah target nilai
ekspor yang besar pada produk udang hingga tahun 2014. Secara terperinci,
jumlah target nilai ekspor produk hasil perikanan tahun 2012-2014 dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2. Target Ekspor Hasil Perikanan
Berdasarkan Komoditas Utama Tahun 2012-2014
No
|
Komoditas
|
Nilai Ekspor (US$ 1000)
|
||
2012
|
2013
|
2014
|
||
1
|
Udang-Shrimp
|
1.327.954
|
1.812.891
|
2.042.576
|
2
|
Tuna/Cakalang-Tuna/Skipjack
|
481.742
|
540.135
|
714.256
|
3
|
Sarden Kaleng
|
44.944
|
46.332
|
62.787
|
4
|
Ikan Dasar (Kakap Merah,Putih,
Layur, dll)
|
818.744
|
827.788
|
1.029.043
|
5
|
Kerapu
|
239.235
|
242.124
|
302.428
|
6
|
Kepiting
|
262.001
|
333.424
|
318.289
|
7
|
Tilapia
|
21.607
|
21.868
|
27.314
|
8
|
Bandeng
|
4.358
|
4.411
|
5.509
|
9
|
Rumput Laut
|
125.465
|
125.951
|
126.097
|
10
|
Lainnya
|
300.842
|
303.398
|
372.190
|
|
TOTAL
|
3.600.000
|
4.200.000
|
5.000.000
|
Sumber: Direktorat Pemasaran Luar
Negeri, KKP (2011)
Pada
tahun 2011, target yang ditetapkan untuk nilai ekspor produk perikanan sebesar
US$ 3,2 miliar disambut dengan optimis oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan
akan tercapai. Perhitungan dari Januari – Oktober 2011, total nilai ekspor
perikanan sudah mencapai US$ 2,8 miliar, sehingga target US$ 3,2 miliar akan
tercapai diakhir tahun 20112. Data saat ini ternyata menunjukkan bahwa target
tersebut telah tercapai. Tabel 3 menunjukkan bahwa udang ditargetkan akan
memperoleh nilai ekspor hasil perikanan yang paling besar dari komoditas
perikanan lainnya yaitu sebesar US$ 1.3 miliar pada tahun 2012 dan terus
mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa udang tetap
menjadi komoditas primadona hasil perikanan Indonesia untuk terus ditingkatkan
kinerja ekspornya, sehingga mampu memenuhi permintaan dunia akan udang yang
terus meningkat.
Perkembangan
produksi udang Indonesia di 3 (tiga) tahun terakhir terus menunjukkan
peningkatan. Prosentase peningkatan produksi tahun 2012 mencapai 32,87%, dari
400.385 ton pada tahun 2011 menjadi 457.600 ton pada tahun 2012. Pada tahun
2014, ditargetkan adanya peningkatan produksi sebesar 200 ribu ton, melalui
optimalisasi luas areal tambak mencapai lebih dari 20 ribu Ha.(KKP, 2012). Oleh
karena itu, menjadi hal yang sangat penting untuk melihat besarnya peluang
pasar yang dapat dipenuhi oleh Indonesia. Amerika Serikat, Jepang, dan Uni
Eropa merupakan pasar utama ekspor udang Indonesia. Ketiga negara tujuan ekspor
ini memiliki pola konsumsi yang berbeda akan udang, sehingga kebutuhan impor
tiga negara ini pun berbeda. Kebutuhan tiga negara tujuan ekspor terbesar di
dunia akan udang dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel
3. Kebutuhan
Impor Udang Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa Tahun 2002 – 2008
Tahun
|
Jepang
|
Amerika Serikat
|
Uni Eropa
|
|||
Volume
(ribu ton)
|
Trend
(%)
|
Volume
ribu ton)
|
Trend
(%)
|
Volume
ribu ton)
|
Trend
(%)
|
|
2002
|
251,19
|
-
|
332,88
|
-
|
345,73
|
-
|
2003
|
235,49
|
-0,06
|
399,62
|
0,20
|
412,33
|
0,19
|
2004
|
244,21
|
0,04
|
396,96
|
-0,01
|
403,75
|
-0,02
|
2005
|
234,73
|
-0,04
|
397,38
|
0,00
|
433,60
|
0,07
|
2006
|
232,18
|
-0,01
|
420,31
|
0,06
|
490,08
|
0,13
|
2007
|
208,99
|
-0,10
|
417,30
|
0,01
|
495,52
|
0,01
|
2008
|
198,52
|
-0,05
|
431,75
|
0,03
|
471,29
|
-0,05
|
Rata-rata
pertumbuhan
|
229,33
|
-0,04
|
399,46
|
0,05
|
436,04
|
0,06
|
Sumber:
BPS (2009), (diacu dalam Setiyorini 2010), (diolah)
Tabel
3 menunjukkan kebutuhan konsumsi akan udang di Jepang, Amerika Serikat, dan Uni
Eropa. Dari tahun 2002-2008, kebutuhan udang di Jepang tidak mencapai 300 ribu
ton, sedangkan di Amerika Serikat dan Uni Eropa selalu berada diatas 300 ribu.
Rata-rata pertumbuhan volume kebutuhan udang di Amerika Serikat mencapai 399
ribu ton dengan kenaikan rata-rata sebesar 0,05 persen. Meskipun rata-rata
peningkatan kebutuhan udang di Uni Eropa hanya berbeda 0,01 persen dengan
Amerika Serikat, namun dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa Uni Eropa memiliki
kebutuhan udang yang lebih besar dibandingkan Amerika Serikat dan Jepang.
Setiap tahunnya, volume kebutuhan udang di Uni Eropa selalu berada di atas
Amerika Serikat dan Jepang. Ini menunjukkan bahwa Uni Eropa telah menjadi pasar
ekspor terbesar untuk komoditas udang. Banyaknya kebutuhan impor udang di Uni
Eropa selalu diupayakan untuk terpenuhi seluruhnya melalui permintaan ke
berbagai negara eksportir udang, salah satunya Indonesia. Permintaan impor
udang oleh Uni Eropa yang dapat dipenuhi oleh Indonesia dapat dilihat pada
Tabel 4.
Tabel 4. Kontribusi Ekspor
Udang Indonesia Terhadap Kebutuhan Impor Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa
Tahun 2002 – 2008
Tahun
|
Jepang
|
Amerika Serikat
|
Uni Eropa
|
|||
|
Volume
(ribu ton)
|
Trend
(%)
|
Volume
ribu ton)
|
Trend
(%)
|
Volume
ribu ton)
|
Trend
(%)
|
2002
|
59,62
|
-
|
16,84
|
-
|
16,11
|
-
|
2003
|
60,24
|
0,01
|
21,90
|
0,30
|
24,10
|
0,50
|
2004
|
49,28
|
-0,18
|
40,54
|
0,85
|
24,35
|
0,01
|
2005
|
48,05
|
-0,02
|
50,70
|
0,25
|
27,18
|
0,12
|
2006
|
50,58
|
0,05
|
61,24
|
0,21
|
35,23
|
0,30
|
2007
|
40,33
|
-0,20
|
60,40
|
-0,01
|
28,85
|
-0,18
|
2008
|
39,58
|
-0,02
|
80,48
|
0,33
|
26,83
|
-0,07
|
Rata-rata
pertumbuhan
|
49,67
|
-0,06
|
47,44
|
0,32
|
26,09
|
0,11
|
Sumber: BPS (2009), (diacu dalam Setiyorini 2010),
(diolah)
Tabel 4
menunjukkan kontribusi ekspor udang Indonesia terhadap kebutuhan impor di tiga
negara importir utama komoditas udang. Pemenuhan kebutuhan impor udang di Uni
Eropa memiliki rata-rata pertumbuhan sebesar 11 persen, namun kontribusi
Indonesia terhadap kebutuhan udang di Uni Eropa masih sangat kecil dibandingkan
Jepang dan Amerika Serikat. Pemenuhan kebutuhan di Uni Eropa dari udang asal
Indonesia cenderung berada dibawah 30.000 ton, sehingga untuk mengatasi hal ini
pada tahun 2012 ditargetkan ekspor udang menjadi 300.000 ton untuk memenuhi
kebutuhan dunia akan udang, khususnya di Uni Eropa (Bisnis, 2012).
3.1.2.
Potensi Perikanan Udang Laut
Penelitian dan pemanfaatan udang
laut dangkal di perairan Indonesia sudah banyak dilakukan, bahkan tingkat pemanfaatannya
sudah cukup tinggi terutama di beberapa daerah perairan yang potensial
diusahakan seperti laut arafura, laut jawa dan selat malaka. Sebagai upaya
diversifikasi pemanfaatan biota sumber daya hayati yang memiliki peluang untuk
diusahakan maka mulai dikaji sumber daya udang diperairan >200 m atau laut
dalam selanjutnya disebut udang laut dalam. Di
perairan Indonesia sumber daya udang laut dalam belum dimanfaatkan sama sekali,
hal tersebut disebabkan belum tersedianya informasi dasar seperti aspek
biologi, ekologi, jenis-jenis, daerah penyebaran, dan teknologi penangkapan.
Indikasi daerah penyebaran udang laut dalam di Indonesia tersirat dari hasil
penelitian ekspedisi Snellius II tahun 1984 yaitu diketemukannya jenis udang
caridea di perairan Indonesia, beberapa pakar juga menyebutkan adanya
penyebaran dan konsentrasi udang panaeid yang terdapat pada kedalaman lebih
dari 100 m di perairan Indonesia. (Wiryawan, 2012).
Udang laut dalam sebagian besar
termasuk dalam divisi Carridea yang selanjutnya disebut udang carridea.
Beberapa jenis udang yang termasuk divisi panaidea yang umum dijumpai
diperairan umum laut dangkal juga ditemukan diperairan laut dalam. Jenis udang
Carridea yang sering tertangkap dan dapat diperdagangkan secara komersial
meliputi Heterocarpus woodmasoni, H sibogae, H gibbosus, dan Plesionika spp.
Sedangkan jenis udang paneid meliputi parapaneus spp dan Metapenaeopsis liui.
Habitat yang disenangi oleh udang laut dalam terutama dasar perairan yang
terdiri dari pasir campur lumpur halus.
Daerah penyebaran udang laut dalam
di perairan Kei dan Tanimbar terdapat pada kisaran 200-600 m, beberapa jenis
yang termasuk family pandalidae, Panaeidae, Crangonidae, dan Polichelidae dapat
mencapai kedalaman lebih dari 500 m. Pemusatan penyebaran udang di perairan Kei
terutama pada kedalaman antara 300-400 m dan diperairan tanimbal 200-300 m.
Salah satu fenomena yang menarik adalah semakin ke arah
selatan dari perairan tanimbar hingga daerah selatan Timor semakin sering
dijumpai jenis udang H sibogae dan Metanephrops spp. Khusus untuk jenis
Eugonotonotus chacei penyebarannya terutama terdapat disebelah utara kepulauan
tanimbar (Wiryawan, 2012).
a. Fam :
Penaeidae (Penaeus Indicus)
Nama English : Indian White
prawn
Udang Jenis ini banyak terdapat di Perairan Laut China Selatan
(Laut Natuna), laut India, laut Australia perairan Asia tenggara, dan
Perairan Indonesia lainnya, udang ini memiliki ukuran max 228 mm dan berat 35
gr, Udang jenis ini banyak diminati untuk Products : Whole, Headless on.
Market Negara2 Asia, seperti China, Japan, Taiwan, serta Negara USA, dan
Eropa.
Dalam bahasa Indonesia disebut juga : Udang
Putih / Bahasa Chinese : Bai ci
|
b. Fam :
Penaeidae (Penaeus latisulcatus)
Name English : Western king
prawn
Udang Jenis ini banyak terdapat di Perairan Laut China Selatan
(Laut Natuna), laut India, laut arab, perairan Asia tenggara, dan Perairan
Indonesia lainnya, udang ini memiliki ukuran max 200 mm dan berat 60gr, Udang
jenis ini banyak diminati untuk Products : Whole. Market Negara2 Asia,
seperti ASEAN, dan China
Dalam bahasa Indonesia disebut juga : Udang susu, / Bahasa Chinese : Sha ma
|
|
c. Fam :
Penaeidae (Penaeus merguiensis)
Name English : Banan prawn
Udang jenis ini
banyak terdapat di Perairan Laut China Selatan, laut Arab, Pakistan,
Australia dan Kepulauan Indonesia, udang ini memiliki panjang 240 mm dan
berat 50 gram, udang jenis ini banyak diminati untuk Products : Whole,
Headless. Market Negara2 Asia, seperti Singapore, Malaysia, Indonesia, dan
USA, Japan, Australia.
Dalam bahasa Indonesia disebut juga : Udang putih / Bahasa Chinese : Bai ci hong jiao
|
d. Fam :
Penaeidae (Penaeus Japonicus)
Name English : Kuruma prawn
Udang jenis ini
banyak terdapat di Perairan Laut China Selatan, Laut Korea dan Jepang, Afrika
Selatan, laut Australia utara, dan Perairan asia tenggara. udang ini memiliki
ukuran panjang 225 mm, dan berat 80gr, udang jenis ini banyak diminati untuk
Products : Whole, Headless on. Market :USA, EU, Japan, dan ASEAN
Dalam bahasa Indonesia disebut juga : Udang Harimau / Bahasa Chinese : Lao hu xia
|
e. Fam :
Penaeidae (Penaeus Monodon fabricius)
Name English : Giant tiger
prawn
Udang jenis ini
banyak terdapat di Perairan Indo Pasifik, bagian timur afrika, laut Gulf,
perairan India, dan perairan ASEAN. udang ini memiliki ukuran panjang 330 mm,
dan berat 250gr, udang jenis ini banyak diminati untuk Products : Whole,
Headless on, Tail-on. Market : USA, Japan, China, EU and ASEAN.
Dalam bahasa Indonesia disebut juga : Udang Harimau / Bahasa Chinese : Jiu Jie Xia
|
f. Fam :
Penaeidae (Penaeus Semisulcatus)
Name English : Green tiger
prawn
Udang jenis ini
banyak terdapat di Perairan Laut Indo pasifik, Afrika tenggara, Laut India,
Laut Jepang, laut Australia dan Kepulauan Indonesia. udang ini memiliki
ukuran panjang 228 mm, dan berat 130gram, udang jenis ini banyak diminati
untuk Products : Whole, peeled, Headless. Market : USA, EU dan ASEAN
Dalam bahasa Indonesia disebut juga : Udang Harimau / Bahasa Chinese : Xi jiao
|
3.1.3.
Potensi Perikanan Budidaya Udang
Udang adalah komoditas unggulan
perikanan budidaya yang berprospek cerah. Udang termasuk komoditas budidaya
yang sudah dikenal dan sangat diminati oleh masyarakat. Ada banyak jenis udang
yang tersebar di alam. Mulai dari perairan laut, payau hingga perairan tawar.
Sebagian sudah dapat dibudidayakan dan berhasil. Lokasi budidaya udang secara
umum tersebar di seluruh daerah yang ada di Indonesia. Sentra produksi udang
terdapat di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur,
Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Perkembangan
produksi udang sendiri sempat mengalami penurunan secara nasional namun pada
tahun 2010 yang lalu produksi udang vaname telah stabil dan cenderung naik.
Hanya sebagian kecil sentra udang yang mengalami penurunan akibat adanya
penyakit seperti provinsi Lampung yang sampai dengan saat ini belum mampu
memproduksi udang seperti sedia kala. Beberapa daerah seperti Jawa Barat dan
Sulawesi Tenggara menjelma menjadi sentranya budidaya udang vaname. Peningkatan
produksi udang vaname kedua daerah tersebut sungguh luar biasa. Peningkatan
produksi udang vaname ini karena mulai diaktifkan kembali beberapa tambak idle
dan penumbuhan pembudidaya-pembudidaya baru. (Ditjen Perikanann Budidaya, 2011).
Udang adalah komoditas yang sangat
mahal harganya baik di pasar domestik maupun pasar ekspor. Potensi pengembangan
budidaya udang di Indonesia sangat terbuka. Apalagi Indonesia memiliki perairan
yang sangat mendukung budidaya tambak. Selain itu, terdapat banyak jenis udang
di Indonesia dan sebagian telah budidayakan. Udang sendiri adalah salah satu
penyumbang devisa terbesar dari sektor perikanan sehingga peluang usaha
budidaya sangat potensial dan terbuka lebar. Pada awalnya budidaya udang
sangatlah sulit terutama karena sulitnya memperoleh benih untuk budidaya.
Ketergantungan pada benih alam menyebabkan kesinambungan budidaya tidak
berjalan dengan baik karena bergantung pada musim. Namun kini benih terutama
vaname dan windu mudah didapatkan sehingga kesinambungan budidaya udang dapat
terjaga. (Ditjen Perikanann Budidaya, 2011)
Ada banyak jenis udang yang tersebar
di perairan Indonesia. Berikut ini adalah beberapa jenis udang yang telah
berhasil dibudidayakan dan memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi, yaitu :
1. Udang Putih
Udang putih
sering disebut sebagai udang jerbung dengan karakteristik yakni kulitnya tipis
dan licin, warna putih kekuningan dengan bintik hijau dan ada yang berwarna
kuning kemerahan. Udang putih atau udang jerbun memiliki banyak jenis antara
lain :
- Udang Peci, dengan karakteristik yakni warna kulitnya lebih gelap dan berbintik hitam. Udang ini memiliki nama dagang White Shrimp.
- Udang Bambu, dengan karakteristik yakni warna kulitnya kuning berbercak merah seperti bamboo.Nama dagang udang ini adalah Bamboo Shrimp.
- Udang Banana , dengan karakteristik yakni warna kulitnya kuning seperti kulit pisang dengan nama dagang Banana Shrimp.
Udang putih sudah lama dapat
dibudidayakan. Terkadang sebagian orang menyamakannya dengan udang vannamei
dikarenakan karakteristik warnanya yang mirip. Padahal kedua jenis udang ini
berbeda. Udang putih memiliki nama ilmiah Penaeus merguiensis ini, banyak
dikembangkan sebagai komoditas budidaya di daerah Indonesia. Sentra
pengembangan budidaya udang putih terdapat di provinsi Jawa barat, kalimantan
timur, sumatera utara, jawa tengah dan jawa timur.
2. Udang Windu
Udang ini dikenal sebagai black tiger
atau tiger prawn. Orang inggris menyebutnya sebagai tiger karena karakteristik
dari corak tubuhnya yang berupa Udang ini kulitnya tebal dan keras, berwarna
hijau kebiruan dengan garis melintang yang lebih gelap, ada juga yang berwarna
kemerah-merahan dengan garis melintang coklat kemerahan. Nama dagang Tiger
Shrimp.
Windu adalah jenis udang yang
memiliki nilai ekonomis cukup tinggi. Udang windu memiliki nama ilmiah Penaeus
monodon. Walaupun sempat ambruk akibata serangan hama penyakit. Udang windu
perlahan bangkit dan saat ini mulai berkembang sangat baik di berbagai daerah
di Indonesia. Budidaya udang windu terdapat hampir di semua wilayah Indonesia.
Sentra budidaya udang windu sendiri terletak di provinsi Sumatera selatan, jawa
barat dan sulawesi selatan.
3. Udang Vannamei
Udang vannamei dikenal memiliki nama
ilmiah yakni Penaeus vannamei. Udang jenis ini memiliki 2 gigi pada tepi
rostrum pada bagian ventral dan 8 – 9 gigi pada bagian tepi rostrum bagian
dorsal. Penaeus vannamei memiliki toleransi salinitas yang lebar, yaitu
dari 2 – 40 ppt, tapi akan tumbuh cepat pada salinitas yang lebih rendah, saat
lingkungan dan darah isoosmotik (Wyban et al., 1991).
Udang vannamei adalah jenis udang
yang pada awal kemunculannya di Indonesia dikenal sebagai udang yang dapat
dibudidayakan denga tingkat ketahanan yang tinggi terhadap serangan hama
penyakit. Namun sejak tahun akhir 2008, udang vannamei juga terkena serangan
hama penyakit yang menyebabkan jatuhnya produksi udang secara nasional. Udang
vannamei yang memiliki nama ilmiah Litopenaeus vannamei ini sentra lokasi
budidayanya terdapat pada provinsi Lampung, Jawa timur, nusa tenggara barat dan
sumatera selatan.
4. Udang rostris
Udang rostris memiliki nama ilmiah
Litopenaeus stylirostris. Udang jenis ini dapat dibudidayakan pada sistem
tertutup pada kelas pembesaran secara intensif. Udang rostris memiliki tubuh
berwarna biru, mempunyai rostrum bergigi 7 di bagian dorsal dan 1 gigi lunak
di bagian ventral, duri kecil ditemukan pada tepi posterior segmen abdomen
kelima. Udang jenis telah dapat dilakukan pembenihan oleh BBPBAP Jepara. Daerah
budidaya udang rostris terdapat di provinsi Aceh dan Nusa Tenggara Barat.
5. Udang api-api
Udang api-api termasuk salah satu
jenis udang yang sudah dapat dilakukan pembudidayaannya. Udang jenis ini
memiliki ukuran tubuh yang tidak besar. Udang api-api memiliki nilai ekonomis
penting dan mempunyai peranan penting dalam siklus rantai makanan dan transfer
energi. Sentra budidaya udang api-api terletak di provinsi jawa barat, jawa
tengah, jawa timur dan provinsi sulawesi selatan.
6. Udang Barong
Udang barong
memiliki nama ilmiah Panulirus sp. Udang ini biasa pula disebut sebagai
udang karang. Sebagian orang menyebut pula udang jenis ini dengan sebutan
lobster laut. Udang barong aktif mencari makan pada malam hari. Pada siang
hari, udang ini lebih suka tinggal di dalam lubang. Udang ini seperti udang
sikat tetapi ukurannya ada yang besar dan kulitnya keras. Warnanya ada
bermacam-macam, ada yang hijau, coklat, coklat kemerahan dan hitam kebiruan,
biasanya berbintik-bintik putih, merah atau coklat. Perkembangan budidaya udang
barong belum begitu pesat. Hanya beberapa daerah saja yang terpantau melalui
data statistic perikanan budidaya mengusahakan budidaya lobster laut ini. Total
produksi lobster laut ini secara nasional mencapai 311 ton pada tahun 2010.
Produksi nasional yang sebesar tersebut berasal dari provinsi Sumatera Utara,
Jawa Timur, Bali, NTB Sulawesi Tenggara dan Kalimantan Timur. Sebagian besar
produksi udang barong berasal dari Sulawesi Tenggara.
7. Udang Galah
Udang ini adalah udang air tawar.
Karakteristik udang jenis ini yakni memiliki panjang maksimal tubug hingga 30
cm, warnaynya bermacam-macam, ada yang hijau kebiruan, hijau kecoklatan, kuning
kecoklatan dan berbercak seperti udang windu tetapi bentuknya lebih bulat.
Udang galah lebih menyukai untuk hidup di hilir sungai.
Perkembangan produksi udang galah
hasil budidaya cukup baik. Udang galah dapat dibudidakan di kolam dan saat ini
mulai dikembangkan budidaya udang galah dengan mengintegrasikan dengan tanaman
padi atau biasa disebut dengan budidaya minapadi. Produksi udang galah pada
tahun 2010 berada pada kisaran 1.400 ton yang sebagian besar berasal dari
budidaya kolam. Sentra produksi udang galah sebagian besar terletak di pulau
Jawa yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur. Di luar jawa
udang galah dibudidayakan di provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat. Bali
ditahun 2010 merupan penyumbang terbesar produksi udang galah nasional dengan
total produksinya pada tahun 2010 sebesar 742 ton.
8. Lobster Air Tawar
Lobster air tawar memiliki ciri-
ciri morfologi tubuh terbagi dalama 2 bagian, yakni kepala (chepalothorax) dan
badan (abdomen). Antara kepala bagian depan dan bagian belakang dikenal dengan
nama sub-chepalothorax. Cangkang yang menutupi kepala disebut karapak
(carapace) yang berperan dalam melindungi organ tubuh, seperti otak, insang,
hati, dan lambung. Karapak berbahan zat tanduk atau kitin yang tebal dan
merupakan nitrogen polisakarida yang disekresikan oleh kulit epidermis dan
dapat mengelupas saat terjadi pergantian cangkang tubuh (molting). Perkembangan
budidaya lobster air tawar di Indonesia belum maksimal. Hal ini disebabkan
sulitnya memperoleh benih yang bersumber dari alam. Oleh karenanya tidak banyak
daerah yang mampu memproduksi udang galah. Data tahun 2010 menggambarkan bahwa
hanya provinsi beberapa daerah saja yang mengusahakannya dan secara nasional
produksi lobster air tawar hanya 8 ton selama tahun 2010 yang lalu (Ditjen
Perikanan Budidaya, 2011)
3.2.
Pemanfaatan Udang di Indonesia dalam rangka Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat.
Ada
3 marga udang yang mempunyai nilai ekonomi penting yaitu: Penaeus, Metapenaeus
dan Panulirus. Udang Penaeus dan Metapenaeus merupakan
komoditi ekspor perikanan utama yang mempunyai potensi cukup tinggi dan
dagingnya gurih serta bergizi. Disamping itu udang tersebut sangat disukai
karena seluruh tubuhnya dapat dimanfaatkan sebagai penunjang kebutuhan ekonomi
masyarakat, seperti kulitnya dapat dijadikan campuran pembuatan pelet,
dagingnya dapat diolah sebagai bahan makanan seperti file udang, kerupuk, abon
dan terasi. Udang Penaeus dikategorikan sebagai udang yang mempunyai
nilai niaga utama, diikuti oleh Metapenaeus yang merupakan udang penting
yang kedua, disusul oleh udang air tawar Macrobrachium, dan yang
terakhir adalah udang karang Panulirus (TORO & SOEGIARTO, 1979 dalam
Pratiwi, 2004).
Luas lahan yang dijadikan demfarm saat ini mencapai 1.000 hektare (ha)
yang tersebar di Kabupaten Indramayu, Cirebon, Karawang, dan Subang Jawa Barat
serta Serang dan Tanggerang, Banten. Pada tahun 2013, ditargetkan akan ada
2.000 hektare tambak demfarm.
"Rencananya perluasan ini akan kita kembangkan di Jawa Tengah, Sulawesi
Selatan, Lampung, dan Sumatera Utara," katanya. Dia berharap demfarm seluas 1.000 ha
itu dapat berkontribusi terhadap produksi udang nasional sebesar 45.000
ton/tahun atau senilai Rp2,25 triliun. Pada tahun 2014, pihaknya berupaya
mengoptimalkan luas areal tambak lebih dari 20.000 ha di Pantura Jawa Barat dan
Banten dengan target produksi sebanyak 200.000 ton/tahun (Investor Daily/tk/ant,
2013).
3.3. Kendala Dalam
pembudidayaan Udang
Budidaya
udang intensif adalah usaha padat modal, yang dapat di kategorikan sebagai
kegiatan industry dengan jenis komoditas produksi utama”biomassa udang” seperti
kegiatan industry yang lain maka dalam kondisi iklim investasi kondusif dan
pasar yang mapan, keuntungan usaha akan berbanding lurus dengan kecepatan dan
volume produksi. Oleh karena itulah maka tidak mengherankan jika petani udang
berusaha memacu produksi udang dengan membesarkan udang berkepadatan tinggi
dengan memberikan pakan yang berlebihan. Mereka lupa bahwa memberikan pakan
yang berlebihan itulah yang menjadi awal kendala bagi keberlanjutan produksi
udangnnya, karena dari kelebihan pakan (bahan organik) itulah penurunan
kualitas air terjadi sehingga badan air menjadi
kurang mendukung kehidupan udang, tetapi justru kondusif bagi kehidupan
mikro organisme, termasuk penyakit udang (Garno, 2004).
3.3.1. Limbah Organik
Pemberian
pakan yang berlebihan menyebabkan terbentuknya limbah organik dalam jumlah yang
relatif besar, yang ada dalam bentuk padatan ynag terendap, koloid, tersuspensi
dan terlarut. Pada umumnya, limbah organic dalam bentuk padatan akan langsung
mengendap menuju dasar perairan; sedangkan sedngkan bentuk lainnya berada di
badan air, baik di bagian yang aerob maupun anaerob. Dimanapun limbah organic
tersebut berada, jika tidak dimanfaatkan oleh fauna perairan lain seperti ikan,
kepiting, bentos dan lainnya; akan segera dimanfaatkan oleh mikroba aerobik
(mikroba yang hidupnya memerlukan oksigen); mikroba anaerobic (mikroba yang
hidupnya tidak memerlukan oksigen) dan mikroba fakultatif (mikroba yang dapat
hidup pada perairan aerobic dan anaerobic).
Fenomena
pemanfaatan limbah organic (COHNS) oleh mikroba tersebut bisa disebut dengan
istilah dekomposisi. Proses dekomposisi di badan air yang mengandung oksigen
terlarut ( aerob biasanya digambarkan dengan reaksi:
·
COHNS
+ O2 + bacteria aerobic
CO2 + NH3 + enerji + produk lain….. (1)
·
COHNS
+ O2 + bacteria aerobic + enerji C5H7O2N (sel
bacteria baru)..(2)
Sedangkan
di badan air yang tidak mengandung oksigen terlarut (anaerob) yang umumnya di
dasar perairan digambarkan dengan reaksi:
·
COHNS
+ bacteria anaerobic CO2
+ NH3 + enerji + produk lain……... (3)
·
COHNS
+ bacteria anaerobic + enerji C5H7O2N (sel
bakteria baru)…...(4)
Reaksi (1) dan (2) dengan jelas mengisaratkan bahwa makin
banyak limbah organic yang masuk dan tinggal pada lapisan aerobic ini akan
makin besar pula oksigen bagi mikroba
yang mendekomposisi, bahkan jika keprluan oksigen bagi mikroba yang ada
melebihi konsentrasi yang terlarut maka sudah pasti oksigen terlarut bias
menjadi nol dan bakteri aerobpun akan musnah dan digantikan oleh bakteri
anaerob dan fakultatif yang untuk aktifitas hidupnya tidak memerlukan
oksigen.
Selanjutnya reaksi (3) dan
(4) dengan jelas mengisaratkan bahwa makin banyak bahan organic dilapisan
anaerob akan makin banyak menghasilkan senyawa-senyawa CO2, NH3,
H2S, dan CH4.. keberadaan
senyawa NH3 dan H2S di perairan pada konsentrasi tertentu
bersifat racun bagi organisme perairan, termasuk udang. Fenomena kekurangan
oksigen dan timbulnya gas-gas beracun hasil dekomposisi limbah organic dan sisa
pakan inilah yang selama ini diduga menjadi penyebab kamatian udang. Untuk
melengkapi uraian tersebut diatas maka berikut ini (tabel 5) disajikan beberapa data mengenai
batas toleransi udang terhadap gas-gas beracun tersebut diatas.
Keadaan perairan, khususnya dasar
tambak yang langka oksigen tetapi justru ada sulmpfida, amoniak, dan nitrit yang beracun serta mikroba pathogen
sudah tentu menjadikan udang yang dikenal sebagai hewan yang suka menempel
didasar tambak, akan dengan cepart menemui kematiannya. Sebenarnya sebagai
krustasea yang memerlukan oksigen lebih tinggi dari hewan lain, kelangkaan
oksigen didasar tambak sudah cukup untuk membuat udang menderita dan mati,
apalagi dengan keberadaan bahan beracun seperti hirogen sulfide, amoniak dan
nitrit serta serangan mikriba pathogen.
Tabel.5. Batas toleransi benur dan
udang terhadap konsentrasi gas-gas hasil dekomposisi organik (ppm)
No
|
Gas
|
Benur
|
Udang
|
1
|
O2
|
3,6
|
2,0
|
2
|
NH3
|
0,60
|
2,0
|
3
|
H2S
|
-
|
0,001
|
4
|
NO2
|
-
|
70
|
Sumber : Murtidjo dalam Garno, 2004.
3.3.2. Penyakit
Selain
karena penurunan oksigen terlarut dan
senyawa beracun seperti tersebut diatas, kematian udang di tambak didiga
dipercepat oleh serangan beruntun berbagai penyakit yang justru muncul
bersama-sama atau bertepatan dengan terjadinya deplesi oksigen dan timbulnya
gas beracun yang sudah mengancam keberlanjutan hidupnya. Fenomena tersebut
diduga terjadi karena kualitas air yang memburuk akibat keberadaan limbah
organic justru menjadi media hidup yang baik bagi kehidupan mikroorganisme,
termasuk yang fatogen baik dari jenis virus, mikroba, protozoa maupaun jamur.
Dalam kondisi kualitas air yang buruk bagi udang tapi cocok untuk kehidupan
mereka itulah mikroorganisme yang fatogen berkembang pesat dan bergantian
menyerang udang, yang sedang lemah karena menghadapi deplesi oksigen dan
senyawa beracun di dasar tambak. Kenyataan tersebut menjadikan penderitaan
udang makin sempurna dan mudah menemui kematiannya. Beberapa pakar
mengungkapkan bahwa serangan bacteria dan virus terhadap udang bersifat Primary
infection, yang akan menjadi kronik jika lingkungan air memburuk pada saat itulah mikroorganisme lain seperti
jamur Fusarium sp. Dan parasit Lagenophrys sp menyerang.
3.3.3. Pencemaran Limbah
Organik di Perairan Pantai
Meskipun
tidak dalam waktu yang singkat; jika tidak diangkut dan dipindahkan secara fisik
sebagian besar limbah organik tambak
udang intensif dapat dipastikan akan masuk dan mencemari perairan
pantai. Hal ini terjadi karena selama masa pemeliharaan udang air tambak bagian bawah yang berisi sisa
pakan dan senyawa beracun hasil
dekomposisi (sekitar 10% total air tambak) setiap harinya dibuang ke pantai;
sedangkan lumpur empuk/padat diangkat ke pematang.
Tabel 6. Beban
pencemaran limbah organik (per ha) pada
budidaya
udang di tambak kedap air
No
|
Item
|
Persen(%)
|
Kuantitas
(kg)
|
1
|
Input
Pakan
(kering)
Kadar
air
Kadar
N
Kadaar
P
|
100,0
5,0
5,5
1,2
|
20.000,0
1.000,0
1.100,0
240,0
|
2
|
Output
Udang
basahB)
Berat
kering
Kadar
N
Kadar
P
|
100,0
25,0C
11,2D
4,1D
|
10.000,0
2.500,0
280,0
102,5
|
3
|
Limbah
metabolic
OrganikE)
Kadar
NF)
Kadar
PG)
|
|
17.500,0
820,0
138,0
|
Ket: A) Bervariasi 0,8-2,2%, B) RKP=2,00, C) dari
berat basah,
D) dari berat kering,
E) input-output BK, F) N = pakan – N ikan
G) P pakan – P
ikan
Pada
saat hujan lumpur padat di pematang terlarut dan kembali ke tambak dibawa air
hujan yang akhirnya mengalir pesisir/laut pula . Uraian mengisyaratkan bahwa
budidaya udang intensif di tambak merupakan sumber pencemaran organik potensial
bagi perairan pesisir/laut. Sebagai
ilustrasi, berikut disajikan perhitungan besaran limbah organic pada bududaya
udang intensif dengan padat penebaran 25 ekor/m2 atau 250.000
ekor/ha; yang dengan perkiraan mortalitas (kematian) sekitar 40 % dan ratio
konversi pakan 2.0 menghasilkan udang 5 ton/masa tanam atau 10
ton/masa/ha/tahun. Hasil perhitungan dengan metode Schmittou yang disajikan
pada tabel 3 denga produksi 5
ton/hectare/masa tanam atau 10 ton/ha/th, akan menghasilkan limbah organik
sebesar 17.5 ton/ha/th dengan kandungan nitrogen 820 kgN.ha-1. Th-1
dan fosfor 138 kgP.ha-1. Th-1. Dengan
potensi limbah organik sebesar itu maka dapat diperkirakan betapa besar
sumbangan limbah organik dari budidaya tambak intensif ke pesisir/laut (Garno,
2004)
Selain
biomassa yang tinggi sepanjang tahun,
dampak lain yang bisa menyertai eutrifokasi perairan pesisir adalah kemungkinan
terjadinya pergantian dominasi plankton dari yang tidak beracun seperti Skeletoinema sp dan noctiluca sp ke jenis yang
beracun seperti Protoperinidium spp,
Pyrodinium sp dan Gymnodinium spp. Jika
fenomena ini terjadi maka dampaknya bukan hanya pada fauna pesisir yang mati
dan tidak bernilai ekonomi lagi karena tidak bisa dimakan manusia dan hewan
lain; namun juga kegiatan lain seperti wisata
renang harus dihentikan. Akhirnya perlu dipahami bahwa limbah organik
dari dasar tambak yang setiap hari masuk ke pesisir, dapat menjadikan pesisir
sebagai media penular penyakit udang yang sangat baik; karena air yang keluar
dari tambak yang membawa vector penyakit, sesampainya di pesisir segera
dimasukan ke tambak lain. Hal ini pula, yang mungkin menyebabkan mengapa
penyakit udang dengan mudahnya menular dari satu tambak ke tambak yang lain dan
sekali suatu jenis penyakit berjangkit di suatu wilayah tidak akan hilang dari
peredaran, serta muncul pada periode pembudidayaan berikutnya.
3.3.4.
Strategi Pengendalian
Keberadaan
limbah organik yang langsung
(menyebabkan deplesi oksigen, menimbulkan gas-gas beracun) dan tidak langsung
(media mikroorganisme pathogen) menjadi penyebab kematian udang tersebut
menunjukkan adanya kesalahan dalam
manajemen budidaya, terutama kesalahan dalam penanganan limbah organic yang
tetap berada di badan air tambak. Oleh karena itu maka satu-satunya jalan untuk
mencegah dan menghindari terjadinya kematian massal udang dalam tambak adalah dengan menerapkan
berbagai teknologi yang langsung atau tidak langsung dapat mengurangi atau mencegah organik tetap berada dalam badan air tambak.
Pencegahan
keberadaan organik dalam tambak dengan hanya membuang limbahnya ke pesisir/laut
seperti yang dilakukan pada budidaya
udang dengan tambak kedap air jelas tidak menyelasaikan masalah, karena di
perairan pesisir /laut limbah tersebut dapat menimbulkan masalah lain yang
lebih serius, seperti yutrofikasi. Oleh karena itu maka untuk dapat mengembangkan budidaya udang intensif secara
berkelanjutan dengan tidak mencemari lingkungan perlu diterapkan
teknologi-teknologi yang dapat mengurangi keberadaan linbah organik di tambak
dengan tanpa membuang/memindahkan ke perairan /pesisir laut (Garno, 2004).
Beberapa
teknologi yang dimaksud adalah teknologi :
1. Teknologi
pengelolaan/pengolahan limbah organik (tambak udang intesif).
2. Teknologi
“pemanenan nutrient” bukan “pengusiran nutrien” dari dalam badan
air tambak udang maupun tambak Tandon.
3. Teknologi
pembuatan pakan yang effesien (proses dan gizi); dan teknologi pemberian pakan
yang effektif; serta kombinasinya sehingga mendapatkan ratio konversi pakan
kecil.
4. Teknologi
budidaya udang intensif system semi tertutup dan system tertutup, yang tidak
mengambil dan membuangan air kecuali pengganti air yang menguap.
5. Dan
terknologi lingkungan lainnya yang berhubungan erat dengan teknologi pemindahan
limbah organik dari tambak.
BAB. IV. KESIMPULAN DAN
SARAN
4.1. KESIMPULAN
Dari
hasil pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.
Ekspor komoditi perikanan bertumpu
pada dua jenis komodoti utama, yaitu udang dan kelompok ikan laut seperti tuna,
cakalang dan tongkol. Komoditi udang sangat berperan dalam peningkatan ekspor
sub-sektor perikanan, karena mempunyai kontribusi 60% dari total nilai ekspor
sub-sektor perikanan dengan nilai ekspor diatas satu milyar dolar Amerika
setahun. Ekspor udang Indonesia sampai saat ini masih sangat mengandalkan pada
pasar Jepang dengan nilai ekspor US$ 635.174.000 dan kontribusinya sebesar
62,9% dari total ekspor udang Indonesia di tahun 1998. Walaupun Jepang
merupakan pasar utama udang dunia, tetapi pasar Eropa, Asia dan Amerika Serikat
yang masih terus tumbuh merupakan pasar yang menarik dan dapat dikembangkan
dalam jangka panjang. Ekspor Udang Indonesia merupakan 12,1% dari total ekspor
udang dunia dengan permintaan pasar dunia senilai US$ 11 milyar setahun.
2.
Luas
lahan yang dijadikan demfarm
saat ini mencapai 1.000 hektare (ha) yang tersebar di Kabupaten Indramayu,
Cirebon, Karawang, dan Subang Jawa Barat serta Serang dan Tanggerang, Banten.
Pada tahun 2013, ditargetkan akan ada 2.000 hektare tambak demfarm. "Rencananya
perluasan ini akan kita kembangkan di Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Lampung,
dan Sumatera Utara," katanya. Dia berharap demfarm seluas 1.000 ha itu dapat
berkontribusi terhadap produksi udang nasional sebesar 45.000 ton/tahun atau
senilai Rp2,25 triliun. Pada tahun 2014, pihaknya berupaya mengoptimalkan luas
areal tambak lebih dari 20.000 ha di Pantura Jawa Barat dan Banten dengan
target produksi sebanyak 200.000 ton/tahun.
3.
pakan
yang berlebihan itulah yang menjadi awal kendala bagi keberlanjutan produksi
udangnnya, karena dari kelebihan pakan (bahan organik) itulah penurunan
kualitas air terjadi sehingga badan air menjadi
kurang mendukung kehidupan udang, tetapi justru kondusif bagi kehidupan
mikro organisme, termasuk penyakit udang. Pencegahan keberadaan organic dalam tambak
dengan hanya membuang limbahnya ke pesisir/laut seperti yang dilakukan
pada budidaya udang dengan tambak kedap
air jelas tidak menyelasaikan masalah, karena di perairan pesisir /laut limbah
tersebut dapat menimbulkan masalah lain yang lebih serius, seperti yutrofikasi.
Oleh karena itu maka untuk dapat
mengembangkan budidaya udang intensif secara berkelanjutan dengan tidak
mencemari lingkungan perlu diterapkan teknologi-teknologi yang dapat mengurangi
keberadaan limbah organik di tambak dengan tanpa membuang/memindahkan ke
perairan /pesisir laut.
2. Saran
Terjadinya
over fishing di wilayah pengelolaan perikanan membuat sehingga kita perlu
berbenah dengan membuat atau menciptakan teknologi yang dapat digunakan dalam
pemanfaatan sumberdaya ikan, Perekayasaan teknologi budidaya sudah saatnya tidak hanya
mempertimbangkan parameter bagaimana meningkatkan produktivitas
setinggi-tingginya, namun harus mampu menjamin berjalannya siklus dalam suatu
ekosistem sehingga mampu berjalan secara alamiah, pemaksaan terhadap penerapan
teknologi yang tidak didasari prinsip ramah lingkungan (pro-enviroment) dan
kepedulian terhadap ekologi (ecologycal
awareness) sama saja memusuhi alam, ini patutnya kita lakukan deni menjaga potensi
sumberdaya ikan yang berkelanjutan demi pembangunan bangsa terlebih lagi dalam
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
DAFTAR PUSTAKA
Anonym. 2013. Udang Crustacea .http://www.ucmp.berkeley.edu/arthropoda/crustacea.htlm. diakses tanggal 28 Mei
2013.
Anonym, 2004. Sea
Cage Culture of Lobster. National Insitute of Ocean Technology (Dept. of
Ocean Development, Govt of India) Pallikaranai, Chennai 601 302). http://www. o
d u . e d u / m b u t l e r / newsletter/index.html. Tanggal akses 26 Juni
2013.
Batmomolin. Y.A. 2011.
Alokasi Sumberdaya Pada Usaha Perikanan Purse Seine di Kecamatan Teluk Ambon.
Skripsi, Universitas Pattimura. Ambon.
Dahuri. R., Rais. J.,
Ginting. S. P. dan Sitepu. M. J. 2008. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara
Terpadu.
Ditjen Perikanann Budidaya, 2011, Udang- udang potensial
budidaya. Kementerian Kelautan Perikanan. Jakarta.
Garno.
, Y. S. 2004. Pengembangan budidaya
udang dan porensi pencemarannya pada perairan pesisir. Pusat pengkajian dan
penerapan teknologi lingkungan, badan
pengkajian dan penerapan teknologi (P3TL, BPPT).
(http://www.bisnis.com).
Ekspor Udang; Target Volume Naik Jadi 300.000 Ton. Diakses tanggal 01 Juni
2013.
(http://www.kkp.go.id).
Ekspor Udang Ditargetkan Naik 200 persen. Diakses tanggal 01 Juni 2013.
(http://rizal-bbapujungbatee.blogspot.com/2009/05/semua-tentang-udangwindu. html), diakses pada: 12 Juni 2013.
Investor Daily, 2013. Indonesia Siap Rebut Pasar Udang Internasional. http//www.
pasar udang.html.
Kabar bisnis.com,
2010. Ekspor Udang Indonesia. http//www.
Ekspor udang Indonesia.html. diakses 5 Juni 2013
Kementerian
Kelautan dan Perikanan. 2012. Sinergitas Menuju Industrialisasi Udang Yang
Berkelanjutan. http//www. Dirjen perikanan budidaya, htlm. Diakses 9 Juni 2013.
Nontji.
2002. Laut Nusantara. Jakarta :
Djambatan.
Pratiwi. R. 2008. ASPEK BIOLOGI UDANG EKONOMIS PENTING.
Oseana,
Volume XXXIII, Nomor 2, Tahun 2008 : 15–24 Bidang Sumberdaya Laut, Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI,
Jakarta. www.oseanografi.lipi.go.id diakses 9 Juni 2013.
Susanto. H. 2012. Industri dan Eksport Udang Indonesia. Di
akses lewat http/www. industri-dan-ekspor-udang-indonesia.html. Tanggal 9 Juni 2013.
Theyser. W. 2013. Fish Information (INDONESIA) List Species-Species Fish in Indonesia Sea and Asian. http//www. berbagai-jenis-udang-di-perairan-asean.html. Diakses tanggal 03 Juni 2013.
Soetyarno.
2001. Budidaya Udang. Semarang: Aneka Ilmu
Wiryawan. R. 2011. Sumberdaya
Alam Hayati : Udang Laut Dalam di Indonesia. http//www.
sumber-daya-alam-hayati-udang-laut.html. Diakses tanggal 28 Mei 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar